MAKALAH KOMPARASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL-ATTAS DAN ISMAIL RAJI’ AL-FARUQI

KOMPARASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

NAQUIB AL-ATTAS DAN ISMAIL RAJI’ AL-FARUQI

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dunia pendidikan Islam era modern terus memacu intelektual-intelektual muslim untuk semakin adaptif dan inovatif, pendidikan Islam tak lepas dari dampak kemajuan zaman. Implemetasi pendidikan Islam dirasa semakin mudah dan praktis, ketersediaan tehnologi modern memberikan peluang besar bagi para muslim untuk pengembangan keilmuan. Namun pada saat bersamaan juga banyak dampak negatif yang muncul di era terutama dalam pendidikan Islam seperti semakin hilangnya keimanan dan ketaqwaan seseorang, keilmuan Islam yang dirasakan lemah, menurunnya moral anak karna informasi yang terlalu cepat dan tidak tersaring, muncul budaya instan dan cepat, tergerusnya budaya local, dan tingkat kesenjangan social yang tinggi. Walaupun menurut sejarah beberapa dampak ini memang menjadi problem di masa runtuhnya kejayaan Islam dan pesatnya keilmuan yang bersumber dari barat juga membuat Islam seolah semakin tenggelam (M. Rofi 2018).

Pendidikan Islam dituntut untuk mampu menghadapi tantangan yang muncul dari masa ke masa, masalah awal adalah keberadaan muslim dengan cara berfikir konservatif dan tradisional memberikan dampak ketidak terbukaan umat Islam terhadap pemikiran-pemikiran baru. selain itu, adanya kebanggaan awal umat Islam terhadap produk keilmuan muslim terdahulu sehingga mengakibatkan terjadinya stagnasi berfikir dan tidak adanya lagi ijtihad yang muncul kemudian, hal ini menyebabkan dominasi keilmuan barat terus berkembang dan meluas (Wahid 2014). Padahal produk barat tidak semuanya Islami, dikotomi ilmu menguat (Iswati 2017), dasar keilmuan dan budaya yang berbeda, sehingga tidak sepenuhnya bisa dijadikan dasar dan diikuti oleh seorang muslm.

Menyikapi problem-problem di atas, para intelektual muslim mulai sadar dan memberikan usahanya dalam pengembangan keilmuan Islam diantaranya adalah Sultan Ahmad II dari Mesir, Sultan Mahmud II dari Turki, Muhammad Ali Pasya di Mesir, Muhammad Abduh di Mesir, Sayyid Ahmad Khan di India, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibn Sina, Ath-Thahthawi, Ahmad Syurkati, Al-Qabisi, Hasan Al-Banna, Ikhwan Al-Shafa, Ismail Raji Al-Faruqi, Muhammad Naquib Al-Attas dan masih banyak lagi.

Dalam Tulsan ini lebih lanjut akan dibahas komparasi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi

 

B.     Fokus masalah

1.      Bagaimana Konsep Pendidikan Islam perspektif Muhammad Naquib Al-Attas

2.      Bagaimana Konsep Pendidikan Islam perspektif Ismail Raji Al-Faruqi

3.      Apa saja persamaan dan perbedaan  Konsep Pendidikan Islam perspektif Muhammad Naquib Al-Attas dan Konsep Pendidikan Islam perspektif Ismail Raji Al-Faruqi

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Konsep Pendidikan Islam Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’ Al-Faruqi

1.      Muhammad Naquib Al-Attas dan pemikirannya terhadap Pendidikan Islam

a.       Biografi

Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan intelektual muslim kelahiran Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Beliau lahir pada 05 September 1931. Lahir dari keturunan kerabar raja sunda Sukapura, ayah beliau bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas yang memiliki silsilah keturunan seorang ulama dan ahli tasawuf berasal dari Arab, ibu  Muhammad Naquib Al-Attas bernama Syarifah Raguan al-Idrus (Lestari, Iman, and Katni 2019).

Riwayat pendidikan Muhammad Naquib Al-Attas dmulai Pada tahun 1936-1941 beliau belajar di Ngee Neng English Premary School di Johor Baru, kemudian beliau juga nyantri di pondok pesantren urwatul wusqo sukabumi mendalami ilmu keIslaman selama empat tahun. Setelah itu beliau kembali belajar di johor masuk sekolah militer dan aktif sebagai militer. Tidak lama setelah keluar dari anggota militer yakni pada tahun 1957- 1959 beliau melanjutkkan studinya di universitas Malaya, selanjutnya mellanjutkan studi di Mc Gill University Kanada, dimana beliau mendapatkan gelar MA (Master or Art), studi program pasca sarjana didapat melalui University of London pada tahun 1963-1964 dan akhirnya tahun 1965 beliau memperoleh gelar Ph.D dengan predikat cumlaude.

Di antara karya- karya Muhammad Naquib Al-Attas adalah: Islam and Secularism, Islam and the Philoshophy of Science, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, Risalah untuk Kaum Muslimin, The Mysticism of Hamzah Fanshûrî, Islamic Culture in Malaysia, “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu, “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, A General Theory of The Islamization of the Malay Archipelago”, dan Profiles of Malay Culture, Historiographi, Religion, and Politics. Tulisan-tulisan Muhammad Naquib Al-Attas di atas didominasi oleh bahasa inggris dan melayu hingga saat ini telah diterjemahkan ke banyak bahasa diantaranya Indonesia, Persia, Turki, bahasa Arab, Urdu, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Albania, Korea, dan India (Ghoni 2017).

b.      Konsep Pendidikan Islam Muhammad Naquib Al-Attas

1)      Esensi Pendidikan Islam

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan khas Islam merupakan pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian (Ghoni 2017). Penting diketahui Syed Muhammad Naquib al-Attas secara jelas menyebutkan pendidikan Islam bertujuan mengetahui dan kembali kepada Tuhan dengan cara mengenalkan, membina pribadi seseorang melalui proses yang bertahap.

Ta’dib adalah kunci pendidikan Islam sebenarnya menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, mengalahkan istilah lain seperti ta’lim dan tarbiyah. Ta’dib merupakan bahasa arab yang berarti adab selanjutnya diberikan makna sebagai pembinaan yang khas berlaku pada manusia. Adab ialah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan rohaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat) (Rizqi Fauzi Yasin 2017). Kata ta’dib lebih tepat untuk pendidikan dan proses pendidikan, sebab ta’dib lebih luas cakupannya, meliputi unsur pengetahuan (ilm- ma’arif), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan (tarbiyah). Pendidikan merupakan peresapan dan penanaman adab terhadap seseorang dengan menyebutkan ta’dib sebagai prosesnya. Beliau berependapat bahwa istilah tarbiyyah yang banyak digunakan saat ini yang dikutip dari Al-Qur’an Surat Al-Isro’ ayat 24 kurang representative untuk diterjemahkan kepada pendidikan sebenarnya (Syafa’ati and Muamanah 2020). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan kata rabba pada ayat tersebut bukan berarti pendidikan tapi memilki arti kasih sayang.

Syed Muhammad Naquib al-Attas memandang bahwa pendidikan tidak dapat tercapai atau ditularkan kepada peserta didik apabila sesorang tidak memiliki adab terhadap ilmu pengetahuan. Tarbiyah atau ta’lim saat ini cenderung dikuasai oleh keilmuan-keilmuan barat yang jauh dari nilai adab dan nilai ilahiyah dan condong kepada pandangan sekularisme, humanism, sofisme dan lain-lain. Hal tersebut menimbulkan kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan dan kegilaan.

Inti persoalan yang membedakan antara tarbiyah dan ta’dib adalah bahwa dalam konsep tarbiyah secara kualitatif lebih ditonjolkan kasih sayang (rahmah) daripada pengetahuan (ilmu), sedangkan dalam konsep ta’dib lebih ditonjolkan pada pengetahuan (ilm) daripada kasih sayang (rahmah). Secara konseptualnya, ta’dib telah meliputi unsur-unsur pengetahuan (ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengetahuan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu digunakan istilah tarbiyah, ta’lim, atau ta’dib secara sendiri-sendiri untuk menyebut konsep pendidikan Islam. Karena itu, ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam dengan tujuan tercapainya manusia universal (al-insan al-kulli) atau manusia sempurna (al- insan al-kamil) dengan sebagai figure utama adalah nabi Muhammad Saw. (Rakhmat 2020)

Tujuan pendidikan dalam Islam dapat diarahkan untuk membentuk dan menghasilkan manusia-manusia yang baik (Rizqi Fauzi Yasin 2017). Lebih jauh menurut al-Attas bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat, yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia.

2)      Kurikulum

Pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Karena universitas menurut Syed Muhammad Naquib al- Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan (Sya’bani 2019). Struktur dan kurikulum ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature), aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qolb, dan aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardhu ‘ain. Aspek atau dimensi ilmu inti (fardhu ‘ain) dijadikan sebagai nilai-nilai dasar (core values) bagi pengembangan dimensi selanjutnya, yang meliputi aspek keilmuan, aspek life skill dan aspek-aspek lainnya (Siregar and Siregar 2018). Jika aspek keilmuan dikembangkan dengan berlandaskan pada aspek ilmu inti maka ilmu pengetahuan di sini menjadi media memahami dan menghayati Tuhan dalam bentuk kelakuan empirik ketundukan kepada segala peraturan Allah SWT.  Kurikulum seharusnya secara aktif berusaha mencetak manusia menjadi insan al-kamil sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Ia harus mengklarifikasikan hakikat Tuhan, ilmu dan manusia serta kebahagiaannya, dan berkaitan antara individu dan masyarakat. Nilai-nilai dasar (core values) akan memberikan makna terhadap suatu proses sebagai pengabdian kepada Tuhan. Pemahaman akan nilai-nilai dasar ini seharusnya menjadi perhatian bagi setiap penyelenggara pendidikan Islam sehingga nantinya peserta didik dapat diharapkan menjadi manusia yang unggul secara intelektual dan spiritual (Zakiyah 2013). Oleh karena itu dalam Islam sendiri tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan sehingga semua disiplin ilmu bisa didekati dengan nuansa Ilahiyah dalam mengantarkan manusia dan peradabannya menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam merumuskan konsep kurikulum, norma agama perlu dijadikan dasar dalam menafsirkan semua pengetahuan modern dari sudut pandang Islam (Rizqi Fauzi Yasin 2017).

Struktur kurikulum akademik dan sistem pendidikan dari sekolah dasar sampai universitas seharusnya mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sesuai dengan tingkatnya. Setelah dengan jelas dan tepat memformulasikan target dan tujuan pendidikan, al-Attas selalu menekankan perlunya penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam beserta khazanah intelektual dan kebudayaannya, persoalan riil yang dihadapi umat Islam modern, musuh-musuh mereka yang nyata, dan cara-cara yang efektif dan benar untuk mengatasi semua permasalahan tersebut (Sya’bani 2019). Pendiriran lembaga-lembaga pendidikan dan artikulasi mengenai target dan tujuan pendidikan seharusnya tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi, politis, dan birokratis, tetapi lebih berpijak pada nilai-nilai religius yang murni dan mendalam.

 

2.      Ismail Raji Al-Faruqi dan pemikirannya terhadap Pendidikan Islam

a.       Biografi

Ismail Raji Al Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 di daerah Jaffa, Palestina. Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926-1936. (Rijal 2018) Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. gelar masternya di bidang filsafat didapatkn dari Universitas Indiana, Amerika Serikat, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana. Al-faruqi juga belajar ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama 4 Tahun (HM. 2020).

Sepulanganya dari kairo, Al Faruqi mulai karir mengajar di dunia kampus beliau mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada tahun 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research. Setahun kemudian, pada 1963, Al-Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut. Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.

Al-faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik (Siregar and Siregar 2018). Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (1986) (diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang ), Islam and Culture (1980) (Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and Life (1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic and Comparative Studies.

b.      Konsep pendidikan Islam

1)      Esensi pendidikan Islam

Al-Faruqi walaupun dilatarbelakangi dengan pendidikan Barat, namun demikian persentuhannya dengan dunia Barat justru mengokohkan keyakinannya terhadap keunggulan ajaran Islam, yang dituangkannya dalam bukunya tentang Tauhid. Tauhid menurutnya merupakan essensi dan inti ajaran Islam. Tauhid merupakan pandangan umum dari ralitas kebenaran ruang dan waktu, serta sejarah dan nasib manusia. Sebagai filsafat dan pandangan hidup, Tauhid memiliki implikasi dalam sejarah pengetahuan, filsafat, etika, sosial, ummat, keluarga, ekonomi, maupun estitika (Norlaila 2008).

Sebagai dasar yang melandasi al-Faruqi dalam pembaharuannya adalah pemikirannya tentang Tauhid sebagai intisari ajaran Islam al-Faruqi mengatakan ummat muslim dunia tidak akan bisa bangkit kembali menempati kedudukannya sebagai ummatan wasathan kecuali jika dia kembali berpijak pada Islam. Konsep manusia muslim tentang dirinya sebagai khalifah, menjadikannya pusat putaran sejarah manusia (Norlaila 2008).

Pandangan al-Faruqi tampaknya selalu dikembalikan kepada kehidupan ummat manusia, dan tujuan akhir kehidupannya adalah kembali kepada Tuhan. Tauhid menurutnya merupakan inti pengalaman agama, sebagai intisari ajaran Islam, menjadi prinsip pengetauan, metafisika, etika, tata sosial, prinsip ummat, prinsip keluarga, politik, ekonomi dan lain-lain. Hal ini sebagaimana digambarkarulya dalam buku yang berjudul Tauhid: its implication for though and life (Adnan 2020). Dunia Islam sekarang mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan. Ini menempatkan ummat Islam pada posisi anak tangga terbawah dari bangsa-bangsa di dunia. Dalam keadaan seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan dan menyebabkan sebagian mereka tergoda oleh kemajuan Barat iersebut, sehingga berupaya untuk mengadakan reformasi dengan westernisasi. tapi ternyata jalan yang ditempuh itu menghancurkan ummat Islam sendiri, sebab dengan mendasarkan kepada westernisasi, mengubah pandagan hidup, menyebabkan ideologi yang berbeda dari yang sudah diterima, nilai-nilai yang jauh berbeda dengan nilai-nilai Islam.

Keadaan tersebut lebih jauh menyebabkan integritas kultur Islam menjadi terpecah dalam diri mereka sendiri, terpecah dalam pemikiran, dan perbuatan. Bahkan lebih tegas al-Faruqi menganggapnya pemikiran di kalangan ummat Islam tersebut yang kemudian sebagai usaha de-Islamisasi (Norlaila 2008). jika dibiarkan berlarut-larut, dan usaha untuk mengatasinya belum terlihat nyata, belum menghasilkan konsep dasar dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, pendidikan tidak menghasilkan muslim yang diharapkan, karena pendidikan yang mereka terima cenderung menjauhkan mereka dari visi lslam. Satu hal yang mendasari pendidikan Islam dibedakan dari pendidikn Barat adalah sifat dan tujuannya yang mengacu pada wawasan tentang Yang Qudus (Adnan 2020). Hal ini kemuian muncul gagasan Islamisasi ilmu, dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, agar ilmu pengetahuan serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.

Ilmu pengetahuan dalam lslam tidak terlepas dari ideologi Islam yang mendasarinya. Islam adalah potensi fitrah ummat manusia yang membawanya mengakui dan mengabdi hanya kepada Allah. Potensi fitrah inilah yang mengangkat eksestensi manusia di bumi ke posisi yang rnulia sebagai khalifah Allah. Untuk misi kekhalifahan, ilmu pengetahuan pada akhirnya yang mampu menghantarkan manusia untuk menjalankan tugasnya melaksanakan kemakmuran di muka bumi ini. Wawasan tentang Yang Kudus yang telah menghilang dari konsep Barat dalam teori pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori Islam tentang pengetahuan. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islam dari Barat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir bahwa adanya keterkaitan yang mendasar antara ilmu pengetahuan dengan ideologinya (agama) (Sanaky 2008). Tidak dibedakan antara ilmu agama dan umum, duniawi dan ukhrawi, semuanya menuju pada satu tujuan yang bersumber dari nilai-nilai llahi.

Menjauhnya ummat Islam dari identitas sendiri dan mengadopsi pemikiran gaya Barat membuat krisis yang sangat jauh dalam segenap aspek kehidupan ummat. Hal ini sudah dianggap semakin parah dan perlu pemikiran terhadap upaya pengobatannya. Adapun penyebab dari krisis tersebut menurutnya disebabkan oleh dua faktor pemicu, yaitu pertama: serangan gencar budaya dan pendidikan Barat, terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu tentang manusia. Akibatnya para pemimpin dan intelektual muslim terlihat dalam ilmu pengetahuan Barat tanpa menyadari bahwa ilmu pengetahuan sekuler tersebut dikembangkan dalam pandangan yang sama sekali asing menurut pandangan Islam. Ilmu pengetahuan Barat menggambarkan pengalaman Barat yang sama sekali menolak wahyu sebagai sumber bimbingan dan ilmu pengetahuan. Sebagai konsekuensinya terdapat di antara kaum intelektual muslim yang terbelah oleh nilai ajaran Barat pada satu sisi dan keyakinan Islam pada satu sisi yang lain. Kedua; Jurang pemisah antara intelektual Islam dan warisan Islam. Nurani dan budaya Islam tslah terwujud dalam warisan Islam yang tidak dapat diperoleh di universitas-universitas sekuler (Tambak 2015).

Menurut al-Faruqi, untuk mengatasi dualisme pendidikan itu adalah dengan mengintegrasikan kedua sistem pendidikan itu, lalu memberinya warna baru dengan visi keIslaman (Norlaila 2008). Apabila masalah pendidikan dapat diselesaikan akan mampu mengatasi masalah-masalah lainnya, karena pendidikan adalah pokok segala masalah dalam kehidupan. Konsep integratif ini sebenarnya jauh sebelum al-Faruqi, telah dilakukan oleh seorang tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Pakistan, Muhammad lqbal. Dia menganggap kesalahan dunia pendidikan Islam adalah karena telah adanya sistem dualisme pendidikan: pendidikan sekuler dan tradisional, di mana sistem pendidikan sekuler tidak hanya memberikan pendidikan materialistis yang tidak serasi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi, khususnya dengan budaya spritual Islam, tetapi juga rnengindoktrinasi generasi muda dengan suverioritas dan hegamoni peradaban Barat.

Menurut usulan al-Faruqi, semua disiplin ilmu modern diberikan tujuan-tujuan dan visi baru yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus ditempa kembali sehingga memberikan relevansi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid berikut: Pertama adalah kesatuan pengetahuan di mana semua disiplin mencari obyektif dan rasionalitas tentang pengetahuan mengenai kebenaran, sampai tidak ada perbedaan yang mencolok antara di satu sisi, disiplin bersifat ilmiah mutlak dan di sisi lain dogmatis relatif. Kedua kesatuan hidup; ke semua disiplin mempunyai nilai-nilai yang sama dalam implikasinya untuk mewujudkan kesadaran dan tujuan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Ketiga kesatuan sejarah; dengan bertumpu kepada sejarah ini semua disiplin keilmuan itu bersifat humanitis, tidak bersifat individual atau materialis  (Rijal 2018).

2)      Kurikulum

Menyebarnya pengaruh de-Islamisasi adalah disebabkan lemahnya filter yang dimiliki ummat Islam. Identitas keIslaman yang seharusnya menjadi tata nilai dan menjadi norma ummat sekarang semikin merojot sehingga tidak bisa membentenginya ketika melawan pengaruh peradaban Barat yang mendekatinya. Identitas muslim dan sistem nilai atau moral itu karena itu, al-Faruqi mengusulkan untuk memerangi nilai-nilai menurut al-Faruqi adalah terkandung dalam kebudayaan Islam. oleh westernisasi dengan Islamisasi itu, dan dengan itu perlu sekali dipelajari tentang kebudayaan dan peradaban Islam. Menurut al-Faruqi mahasiswa di univesitas harus rnengambil pelajaran kebudayaan Islam (HM. 2020).

Adapun pelajaran pokok berkaitan dengan kebudayaan Islam adalah bahwa kebudayaan Islam diajarkan pada semua tingkat pendidikan, khususnya pada tingkat universitas dan juga akademi militer dan semua pendidikan tinggi. Kebudayaan Islam itu diajarkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa, memecahkan masalah-masalah ilmiah, ideologis, dan religius yang mereka hadapi, dan memberi-mereka jawaban yang memadai dan meyakinkan atas pencarian mereka.  Pentingnya mempelajari kebudayaan ini menurut al-Faruqi harus berupaya memberikan kepada mahasiswa muslim pengetahuan mengenai prinsip-prinsip Islam sebagai essensi kebudayaan atau peradaban Islam, atau lebih tegas lagi dinamakan oleh al-Faruqi dengan peradaban Tauhid. Pentingnya peradaban Islam lebih jauh adalah sikap antisipasi yang ditanamkan kepada siswa agar tidak terpengaruh dengan nilai-nilaivperadaban yang mampu merusak nilai-nilai kehidupan ummat yang luhur, misalnya peradaban Barat. Betapapun agungnya peradaban ini bagi ummatnya, namun menurut kritik T.S. Eliot hanyalah mampu rnemberikan kepuasan material yang akhirnya mengakibatkan krisis moral dan menimbulkan polusi mental spritual, sehingga akibat dampak ini menurut ramalannya peradaban tersebut semakin merdeka kepada debu kehancuran (Norlaila 2008).

3.      Komparasi Pemikiran pendidikan Islam Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi

Kontribusi pemikiran Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi berpusat pada bagaimana Pendidikan Islam mampu menjadi ujung tombak mengembalikan peradaban Islam yang maju. Pendapat mereka berlatarbelakang banyaknya masalah dalam pendidikan Islam dan pesatnya pendidikan barat yang tidak sepenuhnya sesuai dengan dasar  Islam, budaya Islam yang semakin tertinggal dan sikap konservatif umat yang condong kepada ilmu agama saja (HM. 2020). Selain itu, lembaga-lembaga Islam yang mulai mengaggungkan teori-teori barat dan mulai meninggalkan dasar dari Islam itu sendiri.

Persamaan diantara dua intelektual ini adalah pada tataran epistemologi bahwa ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai- nilai yang diyakini kebenarannya (Siregar and Siregar 2018). Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu dan mereka sependapat bahwa akar permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu kontemporer.

Sementara itu beberapa perbedaan yang mencolok dari keduanya yaitu; ruang lingkup yang perlu diislamkan. Dalam hal ini, al- Attas membatasi hanya pada ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini sedangkan al-Faruqi meyakini bahwa khazanah keilmuan Islam masa lalu juga perlu untuk diislamkan kembali. Pandangan tentang islamisasi ilmu, al-Attas berpandangan bahwa definisi Islamisasi itu sendiri telah memberi panduan kepada metode pelaksanaannya di mana proses ini melibatkan dua langkah. Sedangkan bagi al-Faruqi, hal itu belumlah cukup sehingga ia merumuskan suatu kaedah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip pertamanya. Perbedaan yang lain adalah Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawuf dan Semantara al-Attas menganggap tasawuf bukan saja penting tetapi perlu bagi perumusan teori ilmu dan pendidikan.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan intelektual muslim kelahiran Bogor, Jawa Barat, Indonesia menjadi inteltual muslim yang menyumbangkan pemikirannya dalam berbagai ilmu salah satunya dalam hal pendidikan. Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat pendidikan khas Islam merupakan pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian dan Ta’dib merupakan bahasa arab yang berarti adab selanjutnya diberikan makna sebagai pembinaan yang khas berlaku pada manusia. Adab ialah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan rohaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat). Pemahaman akan nilai-nilai dasar ini seharusnya menjadi perhatian bagi setiap penyelenggara pendidikan Islam sehingga nantinya peserta didik dapat diharapkan menjadi manusia yang unggul secara intelektual dan spiritual.

Ismail Raji Al Faruqi merupakan pemikir Islam yang lahir  di daerah Jaffa, Palestina, beliau melandasi pembaharuan pemikirannya tentang Tauhid sebagai intisari ajaran Islam selanjutnya al-Faruqi mengatakan ummat muslim dunia tidak akan bisa bangkit kembali menempati kedudukannya sebagai ummatan wasathan kecuali jika dia kembali berpijak pada Islam. Konsep manusia muslim tentang dirinya sebagai khalifah, menjadikannya pusat putaran sejarah manusia. Sehingga memunculkan konsep islamisasi ilmu sebagai kurikulum pendidikan islam dan menurutnya kebudayaan Islam harus diajarkan sedemikian rupa hingga dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa, memecahkan masalah-masalah ilmiah, ideologis, dan religius yang mereka hadapi, dan memberi-mereka jawaban yang memadai dan meyakinkan atas pencarian mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adnan. 2020. “Pemikiran Psikologi Islam Dalam Implikasi Pendidikan Sosial.” Al-Din: Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan 5 (1): 62–83. https://doi.org/10.35673/ajdsk.v5i1.572.

Ghoni, A. 2017. “Pemikiran Pendidikan Naquib Al-Attas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer.” Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi 3 (1): 196–215.

HM., Abubakar. 2020. PENDIDIKAN ISLAM DI ERA PERADABAN MODERN. K-Media.

Iswati, Iswati. 2017. “Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.” At-Tajdid : Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam 1 (01): 90–104. https://doi.org/10.24127/att.v1i01.341.

Lestari, Putri, Nurul Iman, and Katni Katni. 2019. “PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (Tinjauan Paradigmatik Dan Implementatif Konsep Ta’dib Dalam Pembelajaran Agama Islam Pada Tingkat SMA/MA).” TARBAWI:Journal on Islamic Education 3 (1): 17. https://doi.org/10.24269/tarbawi.v3i1.208.

M. Rofi. 2018. “PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM (Kajian Perspektif History Pendidikan Islam Di Indonesia).” As-Sibyan 1 (2): 82–103.

Norlaila. 2008. “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji Al-Faruqi.” Al-Banjari 7 (1): 33–53.

Rakhmat, Anwar Taufiq. 2020. “Konsep Pendidikan Muhammad Naquib Al-a Ṭṭ As.” Taklim: Jurnal Pendidikan Agama Islam 18 (2): 89–102.

Rijal, Syamsul. 2018. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan.” Jurnal Pemikiran, Pendidikan Dan Penelitian Ke-Islaman 4 (2): 01–13.

Rizqi Fauzi Yasin. 2017. “Konsep Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas.” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1 (2): 247–57.

Sanaky, Hujair A. H. 2008. “Permasalahan Dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu.” El-Tarbawi 1 (1): 83–97. https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol1.iss1.art7.

Siregar, Irma Suryani, and Lina Mayasari Siregar. 2018. “Studi Komparatif Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.” Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 15 (1): 85–98. https://doi.org/10.25299/jaip.2018.vol15(1).1588.

Sya’bani, Mohammad Ahyan Yusuf. 2019. “PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM.” Jurnal Islam 1 (1): 1–29.

Syafa’ati, Sri, and Hidayatul Muamanah. 2020. “Konsep Pendidikan Menurut Muhammad Naquib Al-Attas Dan Relevansinya Dengan Sistem Pendidikan Nasional.” Palapa 8 (2): 285–301. https://doi.org/10.36088/palapa.v8i2.859.

Tambak, Syahraini. 2015. “Kebangkitan Pendidikan Islam: Melacak Isu Historis Kebangkitan Kembali Pendidikan Islam.” Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 12 (2): 182–99. https://doi.org/10.25299/al-hikmah:jaip.2015.vol12(2).1458.

Wahid, Abdul. 2014. “Dikotomi Ilmu Pengetahuan.” Istiqra’ 1 (2): 277–83.

Zakiyah, Nita. 2013. “Hakikat, Tujuan Dan Fungsi Pendidikan Islam Di Era Modern.” As-Salam 1 (1): 105–23. http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index%0Ahttp://moraref.or.id/record/view/36039.

 

Posting Komentar

0 Komentar