MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KH. MAS ABDURRAHMAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KH. MAS ABDURRAHMAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pendahuluan

Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya mewariskan nilai-nilai yang akan menjadi penolong dan pedoman umat manusia dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk meningkatkan nasib dan peradaban umat manusia (Mawardi & Supadi, 2018). Tanpa pendidikan, diyakini bahwa manusia tidak berbeda dengan generasi manusia masa lalu jika dibandingkan dengan keterbelakangannya, baik kualitas hidupnya maupun proses merancang masa depannya. Bahkan secara ekstrim, maju mundurnya atau buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat bangsa tersebut (Junaedi & Wijaya, 2021).

Proyeksi keberadaan dan realitas pendidikan, khususnya budaya Islam, memang tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan masa lalu. Sekolah Islam pada masa awal (zaman Nabi SAW), misalnya, tampak bahwa upaya pewarisan nilai diarahkan pada pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu akidah sesat yang dianut oleh kelompok Quraisy. Gagasan baru yang dibawa dalam pendidikan Nabi untuk menginternalisasikan nilai-nilai keimanan, baik individu maupun kolektif, untuk menghancurkan semua keyakinan jahiliyah yang ada saat itu dan dinilai sangat menguntungkan karena lambat laun berbentuk kemusyrikan, dan menjadikan tauhid sebagai ajaran moral landasan dalam kehidupan manusia (Ilham, 2020). Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyyah-penyebaran, penanaman dasar-dasar kepercayaan dan Ibadah Islam.

Sehingga belum terdapatnya perangkat pendidikan yang formal dan sistematis. Setelah itu perkembangan-perkembangan berlanjut. Kemunculan madrasah pertama yang didirikan oleh Wazir Nizham al-Mulk pada tahun 457-459/1065-1067 yaitu Madrasah Nizhamiyah. Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah yang pertama kali muncul dalam sejarah Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang dikelola pemerintah (Nizar, 2007), yang merupakan prototype awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaran pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama (Nata, 2015).

Perkembangan pendidikan Islam tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Islam di Indonesia yang masuk pada abad ke-9 mulai di kenalnya pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren pada umunya sama dengan model pendidikan ketika di zaman Rasulullah Saw (Muazza et al., 2018). Pengajaran yang menggunakan metode sorogan dan bandongan, serta hanya pelajaran agama Islam saja yang diajarkan (Mu’izzuddin et al., 2019). Awal abad ke 20 merupakan titik tolak transformasi Islam di Indonesia. Berbagai perubahan dan pembaharuan baik sosial, ekonomi, budaya, politik hingga agama yang muncul secara massif seperti jamur di musim hujan. Inilah yang sering kali disebut puncak modernisasi Islam. (Amin & Rasmuin, 2019).

Namun demikian, proses ini bukanlah datang begitu saja tetapi setelah melalui berbagai proses yang pastinya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya intensifnya hubungan Nusantara dengan Timur Tengah melalui peranan haji dan pelajar yang melakukan studi lanjutan, serta munculnya teknologi percetakan yang memungkinkan tersebarnya ide-ide baru dengan lebih cepat. Dalam kurun waktu tersebut, transmisi pengetahuan Islam dan juga transformasi masyarakat Islam di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya hingga abad ke 19 dan 20 tidak lepas dari peran para pelajar yang pulang dari Hijaz (Ridhlo, 2019). Melalui mereka, pemahaman ajaran Islam beserta teks-teks dan lembaga pendidikan Islam dalam bentuknya muncul dan berkembang di Nusantara.

Para haji yang baru pulang secara mandiri maupun kelompok berinisiatif mendirikan berbagai organisasi persyarikatan Islam modern. Seperti pada tahun 1905, masyarakat Arab yang tinggal di Jakarta yang melihat bidang pendidikan sebagai lahan paling menjanjikan dalam melakukan reformasi kaum Muslim mendirikan sebuah organisasi bernama Jami‟atul Khair. Sebagai langkah pertama, organisasi ini membuka Sekolah Dasar, di antara mata pelajarannya adalah aritmatika, geografi, sejarah Islam bahkan bahasa Inggris dan Bahasa Melayu digunakan sebagai Bahasa pengantar. Sekolah ini menerima siswa yang berasal baik anak-anak keturunan Arab maupun non-Arab (Hayati, 2018).

Dalam suasana yang bergelora itulah K.H Mas Abdurrahman turut hadir di panggung sejarah Indonesia dengan menyumbangkan tenaga, pemikiran serta jiwanya. Ia dilahirkan di Kampung Janaka Desa Ciput, Kecamatan Labuhan Kabupaten Pandeglang (sekarang Masuk Propinsi Banten) pada tahun 1875. Pada tahun 1916 K.H. Mas Abdurahman memprakarsai berdirinya sebuah lembaga pendidikan Islam yang nantinya berkembang menjadi organisasi social keagamaan, yang diberi nama Mathla’ul Anwar dengan dukungan Kiai Haji Sholeh Kenanga, Kiai Haji Entol Muhamad Yasin dan lain-lain (Thoyyib, 2019).

Mathla’ul Anwar adalah lembaga pendidikan yang dibangun oleh K.H. Mas Abdurahman dengan visual sistem modernis dan tradisionalis, dengan membuka kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI, VII. Tingkat pendidikan yang dibuka dalam Sembilan tahun itu untuk tingkat ibtidaiyah dan tingkatan lanjutan pertama atau tsanawiyah (Ali et al., 2018). Keinginan K.H. Mas Abdurahman dalam menciptakan pembaharuan di atas, diharapkan dapat membentuk masyarakat Indonesia yang mempunyai peradaban yang lebih maju, karena apabila masyarakat mempunyai peradaban yang lebih maju maka akan menjadikan Negara dan Bangsa ini menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Kiprah atau derap kegiatan pendidikan Islam oleh K.H. Mas Abdurahman begitu banyak. Keinginannya dalam mewujudkan masyarakat menjadi lebih baik begitu kuat.

B.     Biografi KH. Mas Abdurrahman

KH. Mas Abdurrahman merupakan nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia dilahirkan di Kampung Janaka, salah satu dusun kecil dan sejuk berada di kaki bukit Haseupan Desa Ciput Kecamatan Labuhan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten pada tahun 1875 (Ma’Shum, 2019). Ia merupakan anak dari seorang kiyai di Janaka KH. Mas Jamal yang mengasuh sebuah pesantren kecil di sana. Nasabnya bersambung ke Ki Mas Jong (Ali et al., 2018). Sebagaimana diakaui dalam legenda Banten tergolong orang yang pertama kali memeluk Islam dan menjadi pengikut setia Sultan Maulana Hasanudin. Gelar Mas merupakan gelar kehormatan yang diberikan secara turun menurun dan berasal dari nama seorang Senopati Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan kanan raja Pajajaran bernama Pucuk Umum (Rosidin, 2018).

Kiayi Mas Jamal, ayahanda K.H. Mas Abdurahman, bukan termasuk orang yang mampu dalam hal ekonomi. Tetapi karena keinginannya yang kuat untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1903, Mas Jamal yang sedang melaksanakan haji di Mekkah meninggal dunia. Setelah mukim selama sepuluh tahun di Mekkah, Mas Abdurrahman kembali ke Menes pada tahun 1910. Kepulangannya ini tidak lepas dari permintaan khusus dari salah seorang ulama Banten yang mempunyai kharismatik tinggi dan dikenal sebagai faqih (ahli hukum Islam) yakni Kiai Haji Muhamad Tubagus Sholeh yang nantinya menikahkan Mas Abdurrahman dengan salah seorang putrinya bernama Nyai Enong. Akan tetapi pernikahan ini tak berlangsung lama karena istrinya meninggal dunia pada saat menjalankan ibadah haji di Mekkah (Thoyyib, 2019).

Setelah itu, Mas Abdurrahman menikah tiga kali secara berurutan antara lain dengan Ibu Menot Aminah binti Haji Ali dari Soreang Menes, Ibu Ijot Khodijah binti Kiyai Samin berasal dari Soreang Menes, dan Ibu Enjoh binti Haji Safik berasal dari Langensari, Pandeglang. Dari ketiga istri itu ia memiliki lima belas anak: Emed, Muhammad Habri, Hamid, Enong, Eno, Adung Abdurahman, Mariah, Bayi, Khalid, Muslim, Muslimah, Muhammad Nahid, Zahriah, Zahra, dan Munjiah. Ketika K.H. Mas Abdurahman memiliki anak, ia pun mengajari anak-anaknya dasar-dasar ilmu agama Islam dan setelah itu menitipkan mereka di pesantren lain dengan tujuan mendapatkan pengalaman apa yang ia dapatkan ketika ia seusia anaknya, lebih khususnya pengalaman pesantren. Untuk memenuhi biaya rumah tangga, K.H. Mas Abdurahman bertani seperti menanam pohon karet, kelapa, tanaman darat, menanam padi di sawah serta berjualan kitab-kitab hasil karangannya sendiri atau karangan orang lain yang dipergunakan untuk madrasah dan lain sebagainya.

Sejarah kemudian mencatat bahwa anak-anak Mas Abdurahman akan memainkan peran yang lebih besar di Mathla‟ul Anwar. Anak yang bernama Muslim diangkat sebagai ketua umum Pengurus Pusat Mathla‟ul Anwar Pusat sejak 1973-1974. Sementara itu Kholid dan Nahid masing-masing menepati jabatan ketua Perguruan Pusat di Menes dari 1974 sampai 1977 dan 1985 sampai 1986. Jika ayahnya mengambil peran sebelum kemerdekaan, maka kekuasaan kepemimpinan mereka menonjol setelah kemerdekaan. Ini merupakan perngaruh sosok dari seorang ayahnya K.H. MasAbdurahman. K.H Mas Abdurahman wafat sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1942 (Rosidin, 2018).

K.H. Mas Abdurahman sudah tidak asing lagi di mata masyarakat Menes Banten, kepercayaan ini datang ketika ia mempunyai kekuatan luar biasa serta ketinggian ilmu yang telah dipelajarinya baik itu di Nusantara maupun di Mekkah. Di Mekkah ia pernah belajar pada Kiai Nawawi Al-Bantani yang merupakan ulama terkenal yang mempunyai banyak murid, baik itu yang berasal dari Indonesia atau dari negara Islam lainnya yang mempunyai majelis di Masjidil Haram Mekkah bahkan K.H. Mas Abdurahman pernah dijadikan badal mengajar oleh Kiai Nawawi Al Bantani sehingga membuat ia dikenal luas oleh para pelajar terutama yang berasal dari Banten.

Sosok Ayah dari K.H. Mas Abdurahman yang merupakan salah seorang kiai yang dihargai di daerahnya namanya yakni Kiai Mas Jamal. Walaupun tinggal di sebuah dusun terpencil yang sukar dijangkau namun ia memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap masa depan putranya. Ia berfalsafah “bahwa ia tidak ingin meninggal dunia sebelum putranya berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai”. 9 Atas dasar falasafah tersebut K.H. Mas Abdurahman mendapat pendidikan agama secara baik sejak masa kanak-kanak dari lingkungannya sendiri yakni dari ayahnya, yang mempunyai cita-citayang tinggi karena ingin Mas Abdurahman menjadi alim ulama dan meneruskan pembelajarannya sampai ke Mekkah. Setelah menginjak usia remaja ia dikirim untuk melanjutkan studinya ke berbagai pesantren di Jawa Barat di antaranya kepada Kiai Sohib pemilik Pondok Pesantren Kedung Pinang, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia juga belajar mengaji kepada Kiai Ma‟mun yang terkenal dengan Bacaan Al-Qur‟annya (Qiraah).

Meninggalnya Ayahnya K.H. Mas Abdurhaman di Mekkah ada keinginan untuk mencari makam ayahnya itu. Kesempatanya untuk ke Mekkah ada saat K.H. Mas Abdurahman pada tahun 1905 akan menunaikan ibadah haji. Dengan bekal hanya cukup untuk ongkos pergi, K.H. Mas Abdurahman pun berangkat ke tanah suci. Disamping menunaikan utuk bermukim guna menuntut ilmu agama sekaligus berziarah ke makam ayahandanya walaupun tidak jelas kuburannya. Semua hambatan dan rintangan, baik uang saku yang terbatas maupun kondisi alam di Makkah yang berbeda dengan Indonesia berhasil ia atasi. Karena uang saku yang minim, selama tinggal di Mekkah ia memilih untuk tidur maupun belajar di dalam Masjidil Haram. Kendati hidup pas-pasan, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat K.H. Mas Abdurahman untuk menimba ilmu. Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walaupun sarana serta peralatan menulis tidak lengkap. Karenanya, ia lebih banyak mengendalikan pendengarannya. Dengan sistem hafalan, ia berhasil menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya, khusunya dalam bidang agama seperti ilmu bahasa Arab, fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.

Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walau sarana serta peralatan menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya dalam menyerap ilmu pengetahuan khususnya di bidang agama sangat mendalam, di antaranya ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Dengan keberhasilannya tersebut, K.H. Mas Abdurahman direncanakan akan diangkat menjadi badal (Asisten Dosen) pengajian di Mesjidil Haram, tetapi hal ini tidak berlanjut, karena adanya permohonan dari para Ulama/Kiai Menes, Banten agar ia segera kembali ke tanah air. Salah satu pertimbangan pokok, kenapa K.H. Mas Abdurahman menerima tawaran itu adalah karena ia ingin mengembangkan system pendidikan Islam di daerah Menes. Tapi rencana ini tidak segera dilotarkan ke masyarakat. Ia terlebih dahulu harus menyelesaikan berbagai problem sosial yang ada di masyarakat Menes (Ma’Shum, 2019).

K.H. Mas Abdurrahman adalah tokoh yang memiliki banyak karya melalui sejumlah tulisan yang disusun. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis beberapa buku tentang berbagai masalah keagamaan, di antaranya yaitu AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz tentang tata cara pemakaman jenazah menurut Islam, Ilm al-Tajwid tentang aturan baca AlQuran, Al-Takhfif tentang tata Bahasa Arab, Miftah Bab al-Salam tentang hukum Islam, dan Fi Arkan al-Iman wa al-Islam tentang teologi. Semua buku ini ditulis dalam tulisan Melayu Arab (Jawi), dengan bahasa Sunda sebagai mediumnya. Semua buku ini dipersiapkan sebagai rujukan utama untuk studi-studi agama di Madrasah Mathla‟ul Anwar. Dari sekian banyak karya K.H. Mas Abdurahman, buku AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz merupakan karya yang fenomenal karena buku tersebut sampai hari ini masih banyak dibaca, dan menjadi buku rujukan dalam pembelajaran di Mathla‟ul Anwar. Buku ini tidak saja diperuntukan untuk para siswa namun dipakai juga untuk masyarakat umum.

Setelah beberapa lama menderita sakit dan masih ditakdirkan Allah untuk dapat mengambil air wudhu dan sholat walaupun dengan berbaring, akhirnya pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban 1363 H bertepatan dengan 16 Agustus 1944 dengan disaksikan oleh sebagian istri an anak-anaknya, K.H. Mas Abdurahman pulang ke Rahmatullah untuk selama-lamanya. Beribu-ribu umat Islam hadir serta pejabat Pemerintah Jajahan Jepang dari Kabupaten Pandeglang dan Banten hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepada K.H. Mas Abdurahman yang dilakukan di daerah Cikaliung Sodong (Thoyyib, 2019).

C.    Pemikiran tentang Pendidikan Islam dan Kontribusinya dalam Pengembangan Pendidikan   Islam

Pemikiran mengenai pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Mas Abdurrahman ternyata sangat berkontribusi dalam pengembangan pendidikan Islam yakni salah satunya terhadap para alumni madrasah yang ia dirikan dimana para siswa yang pernah belajar pada sang guru memberikan dampak yang positif terhadap kampong halaman mereka, disamping itu banyak santri yang mendirikan madrasah cabang di daerahnya masing-masing yang menginduk pada madrasah pusat. Berikut ini merupakan beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Islam KH. Mas Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam dalam masyarakat luas:

Modernisasi dalam bidang pendidikan setidaknya meliputi 4 unsur diantaranya: system pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Di bidang pendidikan KH. Mas Abdurrahman melakukan beberapa kontribusi diantaranya:

1.      Pengelolaan Sistem Madrasah Putra-Putri

Sebelum berdirinya madrasah Mathla’ul Anwar, Banten telah mengenal dua macam system pendidikan Islam yakni langgar dan pesantren. Salah satu yang menjadi dorongan utama dibalik pendirian madrasah Mathla’ul Anwar adalah modernisasi yang dilakukan dengan bertujuan menyempurkan dan bukan menggantikan. Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mendirikan sebuah madrasah berdasarkan system kelas dengan maksud menerapkann system pendidikan dengan menggunakan standar kurikulum yang baku dan jelas (Syarjaya & Jihaduddin, 1996). Gagasan modernisasi pendidikan Islam telah tersebar luas di Nusantara ketika itu. Sejak tahun 1909 sejumlah sekolah Islam telah mengadopsi sistem kelas seperti Madrasah Adabiyah dan Sumatra Thawalib di Sumatra Barat (Syalafiyah & Harianto, 2020).

Dalam perkembanganya intitusi madrasah semakin beragam pembelajarannya, disamping Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber utama doktrin Islam, muncul berbagai jenis ilmu lain. Sebagian merupakan ilmu-ilmu yang dimaksudkan sebagai alat bantu memahami Al-Qur’an seperti tata bahasa, sebagian lain merupakan hasil penafsiran atas Quran seperti Fiqh (Subhan, 2009). Modernisasi system pendidikan Islam di Mekkah konon juga memberi kesan yang mendalam pada diri Mas Abdurrahman sehingga kemudian ia merintis gerakan modernisasi madrasah di Mathla’ul Anwar pada tahun-tahun sesudahnya.

Mathla‟ul Anwar membuka madrasah secara resmi pada tanggal 9 Agustus 1916 M yang bertepatan dengan 10 Syawal 1334 H. Selaku mudir, K.H.Mas Abdurahman memanfaatkan fasilitas yang seadanya setelah Kiyai Mustagfiri salah seorang pendiri Mathla‟ul Anwar memberikan rumahnya sebagai ruang kelas sementara. Untuk memulai itu semua, ia menyusun kurikulumnya, melakukan rekruitmen guru sekaligus bertindak sebagai pengendali mutu seluruh kegiatan proses belajar mengajar. Setelah berjalan selama beberapa bulan, madrasah mendapatkan sambutan positif dari masyarakat baik dalam bentuk kepercayaan maupun bantuan lainnya. Para penduduk sekitar mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar. Banyak murid yang belajar di Mathla’ul Anwar telah berhasil meyakinkan orang kaya setempat, seperti bernama Ki Demang Entol Jasudin untuk mewakafkan tanahnya kepada madrasah (Rosidin, 2018).

Dengan bantuan dan dukungan dana dari masyarakat sekitar itulah Mathla’ul Anwar akhirnya mampu mendirikan bangunan madrasah yang pertama dan menjadi pusat kegiatan pendidikan Islam hingga sekarang. ndirikan madrasah khusus putri. Namun bangunan madrasah tersebut terpaksa dipisahkan dari madrasah utama yang dikhususkan untuk laki-laki. Pendirian madrasah putri menunjukan bahwa Mathla’ul Anwar mempunyai pandangan yang lebih maju dan tegas tentang kedudukan wanita dibandingkan dengan pemahaman yang berkembang di masyarakat saat itu yang masih mengganggap tugas wanita tidak lebih dari bertugas di dapur dan melayani suami serta mengurus anak dan kehidupan sehari-hari saja. Dengan adanya Madrasah Putri Mathla’ul Anwar posisi wanita dalam penguasaan ilmu memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

Banyaknya pemimpin yang menolak gagasan penyatuan menjadi alasan pemisahan tersebut. Untuk mengelola madrasah ini, Mathla’ul Anwar mengangkat Hajjah Siti Zainab, putri Entol Mohammad Yasin sekaligus menantu Tubagus Mohammad Sholeh sebagai direktur. Mathla’ul Anwar juga kemudian mengangkat Nyi Kulsum dan Nyi Afiyah sebagai guru sekaligus membantu tugas direktur. Di bawah kepemimpinan mereka, madrasah putri kemudian dapat berkembang dengan pesat dimana memiliki ratusan siswi yang ikut belajar di dalamnya. (Jamaluddin, 2013)

Pada tahun 1938 Mathla’ul Anwar menerbitkan aturan tentang sistem persekolahan baru dengan urutan sebagai berikut Madrasah Awwaliyyah atau pra-sekolah dasar (dua tahun), Madrasah Ibtidaiyah (enam tahun), Madrasah Tsanawiyah (tiga tahun), dan Madrasah Muallimin Wustha (dua tahun), dan Madrasah Muallimin ‘Ulya yang setara dengan tingkat universitas (tiga tahun). Para siswa yang ingin menamatkan pendidikan mereka di madrasah-madrasah ini harus menempuhnya selama enam belas tahun.

Kembali ke madrasah untuk murid laki-laki, di tahun-tahun awal berjalannya madrasah ini, K.H. Mas Abdurahman mengajar di madrasah. Pada saat yang sama, juga bertugas merekrut guru-guru dari kalangan kiai muda di Menes seiring dengan bertambahnya kelas. Di antara yang direkrut adalah Kiai Hamdani, Kiai Abdul Latif dan lain-lain. Pada akhir 1920an, ada sembilan guru yang mengawasi sembilan kelas. Setelah dirasa cukup memadai, Mas Abdurrahman mengundurkan diri dari kegiatan mengajar dan memutuskan untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya sebagai mudir urusan pendidikan.

Pada tahun pertama pendirian madrasah siswa-siswanya ia datangkan dari sekitar Menes. Kebanyakan dari mereka adalah santri-santri seperti santri dari pesantrennya Kiai Haji Muhamad Soleh dari Kananga, santri dari pesantren Kiai Haji Arsyad dari Tegal dan tempat-tempat lainnya. Selain itu ternyata sambutan masyarakat untuk memasukan anaknya ke madrasah yang didirikan oleh K.H. Mas Abdurahman sangat menggembirakan sehingga untuk tahun kedua tidak tertampung lagi tempat belajarnya (Ali et al., 2018).

2.      Penerapan Sistem Klassikal

Visi muda yang dimiliki oleh K.H. Mas Abdurahman sangat begitu visoner. Keinginannya dalam mentransformasi pendidikan Islam begitu kuat. Dengan dasar ingin merubah kondisi masyarakat yang mengalami keterbelakangan. Dia membawa pendidikan Islam sebagai upaya mencerdaskan dan merubah masyarakat. Masyarakat iajak untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dinamakan madrasah Mathla‟ul Anwar. Oleh karena itu, penyelenggaraan program pendidikan yang dilaksanakan di Mathla‟ul Anwar ialah dengan menggabungkan sistem madrasah dengan sistem pesantren. Penggabungan dua sistem ini dianggap penting karena tujuan utama pendidikan Mathla’ul Anwar ketika itu ialah untuk menghasilkan calon-calon da’i profesional yang luas wawasan keilmuannya dan mulia akhlaknya.

Penggabungan sistem ini dianggap cukup tepat mengingat bahwa tujuan pendidikan agama tidak hanya terletak pada segi pengetahuan semata tetapi juga meliputi aspek penghayatan, pengamalan dan pembiasaan ibadah serta kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Pada awalnya para siswa atau santri mengalami kesulitan mengikuti sistem ini, karena mereka sebelumnya terbiasa dengan kultur dan sistem pesantren yang lebih longgar dalam disisplin dan jadwal waktu belajar. Para santri biasanya mengikuti proses belajar pola sorogan atau bandongan dengan gaya santai dan bebas, adakalanya santri mengikuti pengajaran dengan duduk bersila, dengan meluruskan kaki ke depan, duduk dengan bertumpu pada satu kaki dan kaki yang lain dilipat ke atas. Namun, biasanya kiai memakluminya karena cara ini biasanya dilakukan oleh santri yang mubtadiin.

Di pesantren sistem yang digunakan adalah sistem tutorial dengan cara bandongan   atau sorogan. Cara bandongan adalah sekelompok santri antara lima sampai lima ratus orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan dan sering kali mengulas buku-buku Islam berbahasa Arab. Sedangkan cara sorogan ialah seorang murid menghadap   guru untuk membacakan dan menerjemahkan sebuah buku Islam dalam bahasa arab, kemudian san guru mendengarkan sekaligus melakukan koreksi bahkan terkadang diselingi dengan ulasan yang singkat (Mu’izzuddin et al., 2019).

Namun Madrasah Mathla’ul Anwar menerapkan sistem klasikal. Dari tahun 1916 hingga 1920, Mathla‟ul Anwar menjalankan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, B, dan I yang masing-masing berlangsung selama setahun pelajaran. Pada tahun 1920, Mathla‟ul Anwar memperluas jumlah kelasnya menjadi tujuh kelas untuk setiap satu tahun angkatan yang terdiri dari kelas A, B, I, II, III, IV, V. Pada tahun 1927, Entol Junaedi, putra K.H. Muhamad Entol Yasin dan baru saja pulang dari belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, mengusulkan perluasan lagi jumlah kelas. Gagasan ini diterima dan dijalankan pada tahun itu juga. Hasilnya, Mathla’ul Anwar mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran mulai dari A, B, I hingga VII. Pola sembilan kelas ini berlanjut hingga tahun 1950 ketika sistem ini dirubah untuk disesuaikan dengan sistem pendidikan nasional yang merupakan hasil reformasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia merdeka (Ali et al., 2018)

3.      Pembaharuan Kurikulum        

       Dalam bidang pendidikan kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Pada kenyataannya, sebagian pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu (Juarsih, 2014)Di pesantren, kurikulum yang digunakan adalah disesuaikan dengan kemampuan kiai, jika kiai mahir di bidang aqidah maka kurikulum yang diajarkan adalah kitab atau mata pelajaran yang berkaitan dengan bidang aqidah. Namun K.H. Mas Abdurahman melakukan pembaharuan dengan memasukan mata pelajaran umum seperti berhitung, membaca, bahasa Inggris, dan ilmu alam (Kusnan, 2017).

Pada masa kepemimpinan K.H. Mas Abdurahman sebagai mudir urusan pendidikan, K.H. Mas Abdurrahman memiliki kekuasaan penuh untuk menyusun kurikulum bagi madrasah. Kurikulum yang dilaksanakan dimadrasah Mathla’ul Anwar umumnya adalah pengajaran kitab-kitab agama (Kitab Kuning) dan kitab-kitab lain yang bersifat penunjang. Ia menetapkan bacaan yang akan dipelajari dan diawasi secara langsung. Selain itu, ia menyusun beberapa buku untuk digunakan di madrasah, seperti ‘Ilm al-Tajwid, Nahwu alJamaliyyah, ‘Ilm al-Bayan dan kitab-kitab kecil lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.  Kurikulum yang ia susun juga memasukkan unsur keterampilan seperti pelatihan dakwah dalam bentuk muqabalah (layanan masyarakat) dengan pengiriman murid dari kelas enam hingga delapan untuk berdakwah secara langsung kepada masyarakat didesa-desa sekitar. Pelatihan ini dilaksanakan setiap Kamis.

Proses belajar mengajar madrasah Mathla‟ul Anwar dimulai pada pukul delapan pagi sampai pukul dua belas siang dengan waktu istirahat sekali selama kurang lebih setengah jam. Waktu libur yang dijadwalkan ialah hari Kamis dan Jum’at. Pada hari Kamis diadakan kursus atau pengajian untuk menambah ilmu pengetahuan bagi dewan guru yang diberikan oleh K.H. Mas Abdurahman yang bertempat di mesjid Soreang (Kusnan, 2017).

Pada akhir tahun 1930an, Mathla‟ul Anwar menambah beberapa mata pelajaran umum dalam kurikulumnya seperti bahasa Indonesia, sejarah dunia, geografi dan beberapa ilmu alam. Masuknya mata pelajaran umum dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam bukanlah hal baru, karena sejumlah sekolah modern Islam telah mengadopsinya sejak decade kedua abad kedua puluh seperti Muhammadiyah, Al-Jami’ah alIslamiyah dan Sekolah Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Sejak itu, kebanyakan madrasah di Nusantara memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum mereka, meskipun berbeda-beda presentasenya dibandingkan dengan pelajaran agama (Ali et al., 2018).

a.      Sistem Kelas

Tahun 1916 K.H Mas Abdurahman membuka madrasah dengan menjalankan aktivitas pendidikan dengan menggunakan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, kelas B, dan Kelas I. masing-masing berlangsung selama setahun pelajaran. Ini menjadi modal K.H. Mas Abdurahman dalam mengembangkan pendidikan berjengjang.

Setelah murid-murid K.H. Mas Abdurahman lulus dari madrasah Mathla‟ul Anwar kemudian diantaranya ada yang melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Kairo yaitu Entol Junaedi putra Entol Moh Yassin. Setelah Entol Junaedi kembali ke Indonesia pada tahun 1927 dia mengusulakan perluasan lagi jumlah kelas. Kemudian gagasan ini diterima dan disetuji oleh K.H. Mas Abdurahman. Sehingga madrasah Mathla’ul Anwar mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran, dimulai dari kelas A, kelas B, kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas VI dan kelas VII (Rosidin, 2018).

Kemudian setelah terbentuknya sistem kelas dengan sembilan tingkatan dilakukan penyeragaman dari tiap-tiap cabang madrasah yang dilakukan oleh direktur (mudir) K.H. Mas Abdurahman guna menjaga kualitas hasil didikan yaitu, bahwa seluruh cabang Mathla‟ul Anwar hanya mendapat izin untuk membuka sampai kelas IV. Untuk menyelesaikan pendidikan sampai kelas VII para lulusan madrasah cabang harus menyelesaikannya di Mathla’ul Anwar pusat di Menes (Ali et al., 2018).

b.      Bahan Ajar

1)      Tarjamah Jamillah atas Matan Ajurumiyah. Tarjamah Jamilah atas Matan Ajurumiyah telah jelas dari judulnya, buku ini merupakan terjemahan kitab tipis matan jurumiyah, yang membahas tentang ilmu nahwu dan tata bahasa Arab.

2)      Aljawaiz fi Ahkam al-Janaiz. Kitab Aljawaiz fi Ahkam Aljanaiz adalah sebuah kitab elementer berbahasa Sunda dengan huruf pegon (Arab), yang secara komprehensif membahas seluk beluk hukum mengurus jenazah yang benar dan sesuai dengan paham ajaran Islam Ahlussunnah waljama’ah (Abdurahman, 2010).

3)      Al-Musamma bi al-Takhfif fi ‘ilm al-Tashrif. Melengkapi terjemahan Jurumiyah, K.H. Mas Abdurahman juga menulis sebuah kitab kecil dalam bidang sharaf, yakni gramatika bahasa Arab. Kitab tipis ini merupakan usahanya untuk melengkapi bahan ajar bagi penguasaan bahasa Arab di lingkungan Mathla‟ul Anwar. Secara fisik buku ini berukuran 20x12 cm, dengan tebal 38 halaman dan masing-masing halaman berjumlah 18 baris. Sesuai keterangan di akhir buku, naskah ini selesai ditulisnya pada hari Senin 9 Ramadhan 1371 H (tanggal ini jelas perlu diverifikasi ulang, karena tahunya yang hampir pasti tidak tepat atau mungkin lebih merupakan tahun penulisan ulang yang dilakukan penerbitnya).

4)      Mandzumat fi Bayani Asbab al-Hifdzi wa al-Ghina. Naskah ini merupakan hal yang unik dan satu-satunya yang ditulis dalam bentuk nadzam dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga bahasa sekaligus: Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara bergantian. Uniknya lagi, nadzam atau syair dalam ketiga bahasa yang dipakainya memiliki tingkat kualitas sama baiknya.

5)      Kumpulan lima Khutbah. Buku atau kitab tipis ini berukuran saku ini (setebal 36 halaman) berisi tentang lima khutbah, yakni Idul Fitri (1-12), Idul Adha (12-19), Khutbah Jum‟at (20-27), Khutbah Nikah (27-31), dan Talqin Mayyit (32-36). Dalam penelusuran naskah di lapangan, penulis mendapatkan 3 (tiga) versi penerbit, yakni dalam bentuk tulisan tangan, cetak batu, dan cimputized. Ini mengindikasikan, sebagaiman peran informan mengatakan, bahwa buku kumpulan lima khutbah ini merupakan buku penting dan digunakan oleh masyarakat berbagai kalangan dan dijadikan bahan rujukan khutbah diberbagai tempat.

6)      Dua Risalah Miftah Bab al-Islam fi Arkhan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al - ‘Athsyan. Buku berukuran sedikit lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang ruku Islam dan rukun iman serta tentang cara membaca Al-Qur‟an (tajwid). Naskah pertama berjudul Miftah Bab As-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat Al„Athsyan fi Tajwid al-Quran (hal 16-43).

c.       Media Belajar

Madrasah dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar (KBM) menggunakan perlengkapan yang modern pada waktu itu, seperti menggunakan papan tulis, bangku, dan meja, meskipun belum mewajibkan pakaian seragam waktu itu, karena para siswa di pesantren pada umumnya terbiasa memakai sarung. Dalam sumber buku, para siswa mulanya merasa tidak merasa nyaman karena mereka tidak pernah menggunakan alat-alat seperti ini untuk belajar di pesantren (Rosidin, 2018).

4.      Evaluasi Pembelajaran

Aspek penting lain dalam teknologi pengajaran adalah evaluasi atau penilaian dalam pengajaran tidak semata-mata dilakukan terhadap hasil belajar, tetapi juga harus dilakukan terhadap proses pengajaran itu sendiri. Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa yang dievaluasi. Dengan evaluasi tersebut dapat dilakukan revisi program pengajaran dan strategi pelaksanaan pengajaran. Dengan kata lain, ia dapat berfungsi sebagai umpan balik dan remedial pengajaran (Sukardi, 2003).

Di pesantren, tidak ada evaluasi dalam mengukur sejauh mana santri dalam mengikuti pembelajaran, serta santri kebanyakan lama sekali dalam mengikuti pembelajaran, oleh sebab itu K.H. Mas Abdurahman mengadakan evaluasi terhadap hasil pembelajaran melalui ujian yang dilakukan pada akhir setiap tahun akademik (haul), siswa madrasah Mathla’ul Anwar akan mengikuti ujian akhir.   

Mereka yang lulus ujian akan naik ke kelas berikutnya. Sementara bagi yang gagal, mereka harus mengulang kelas yang sama selama setahun lagi. Madrasah juga memiliki aturan program akselerasi dengan mengizinkan siswa unggul untuk melewati satu atau dua kelas. K.H. Mas Abdurahman beserta beberapa guru senior yang ditunjuk secara langsung menyelenggarakan ujian tersebut. K.H. Mas Abdurahman bahkan bertindak sebagai penguji. Menurut beberapa mantan muridnya, ujian berlangsung dengan sangat ketat. Sementara dari sisi waktu pelaksanaanya, ujian akhir tersebut biasanya diadakan pada bulan Safar dan Rabiul Awwal.

Setelah ujian selesai, ada acara tahunan (Ihtifalan) untuk menandai berakhirnya tahun ajaran tersebut. Acara ini biasanyadiselenggarakan pada tanggal 20 Rabi’ul Tsani. Dalam acara ini, mereka yang menamatkan pelajaran merayakan kelulusan dan pada saat itu pula Mathla’ul Anwar memberikan ijazah bagi mereka yang telah menamatkan Sembilan tahun masa belajar. Ijazah ini dipandang sebagai lisensi bagi para alumni untuk mengajarkan pengetahuan Islam di madrasah lain atau mendirikan madrasah sendiri (Kusnan, 2017).

Usaha-usaha yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman dalam pengembangan pendidikan Islam begitu menarik dan efketif. Dia membawa konsep pendidikan dalam menunjang siswa memperluas wawasan dan pengembangan potensi dan bakat siswa. selain itu cirinya dia menerapkan kelasikal salafi (pesanten salafi dengan memakai sistem kelas.


D.    Kesimpulan

Pembaharuan yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman mempunyai dampak yang luar biasa. Dengan didirikannya madrasah oleh K.H. Mas Abdurahman tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang diajarkan oleh K.H. Mas Abdurahaman itu membawa manfaat bagi masyarakat pribumi, khususnya bagi umat Islam. K.H. Mas Abdurahman mampu memberantas kebodohan dan juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi individu yang siap menjadi pemimpin dalam segala bidang.

Dalam upaya pembaharuan pendidikan Islam (madrasah) Mathla’ul Anwar yang dilakukan oleh K.H. Mas Abdurahman ialah membuat kurikulum pendidikan Islam secara sistematis yang mata pelajaranya yaitu pelajaran keagamaan, Bahasa Indonesia, Ilmu Alam, Sejarah Dunia, dan Ilmu Bumi atau Geografi, adanya sistem kelas mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI, dan VII, serta membuat media pembelajaran, dan program evaluasi pembelajaran.

Kondisi pendidikan Islam lewat madrasah menjadi pendidikan Islam yang modern yang dimiliki oleh Mathla’ul Anwar. Puncak dari usaha modernisasi yang sebenarnya baru digagas secara sistematis dalam Muktamar Mathla’ul Anwar yang pertama pada tahun 1936. Sebuah muktamar yang berusaha menatap masa depan Mathla’ul Anwar. Banyak putusan-putusan yang mendorong terwujudnya suatu usaha sistematis untuk menjadikan Mathla’ul Anwar menjadi sebuah institusi Islam yang modern.

Diantara putusan terpenting dalam muktamar tersebut ialah dikembangkan status Mathla’ul Anwar dari sebuah badan usaha pendidikan atau yang dikenal sekarang dengan nama yayasan menjadi sebuah perhimpunan atau organisasi massa Islam yang menjadikan asas pergerakannya pada Islam Ahlu Sunah Wal Jama’ah. Perkumpulan ini sudah membuka cabang dari mulai tingkat Kabupaten hingga desa. Dengan lahirnya statuen yang menegaskan bentuk organisasinya yang besar, Mathla’ul Anwar harus siap dengan berbagai kosekuensi dinamika yang berpotensi muncul sepanjang perjalanan gerakannya.


E.     Referensi

        

Abdurahman, K. M. (2010). Terj. Dari Al-Jawaiz Fi Ahkamil Al-Janaiz oleh Maddais. PB Mathla’ul Anwar Press.

Ali, M., Jihaduddin, & Al-Fuadi, F. (2018). Mathal’ul Anwar dan Tantangan Modernitas. Bhakti Banten Press.

Amin, M., & Rasmuin, R. (2019). Dinamika kurikulum madrasah berbasis pesantren pada abad ke-20: Analisis historis implementasi kurikulum madrasah. Tadbir: Jurnal Studi Manajemen Pendidikan3(1), 1–16.

Hayati, N. R. (2018). Kiprah Ormas Islam di Bidang Pendidikan. Al Ghazali1(1), 133–144.

Ilham, D. (2020). THE CHALLENGE OF ISLAMIC EDUCATION AND HOW TO CHANGE. IJAE: International Journal of Asian Education1(1), 15–20.

Jamaluddin, D. (2013). Paradigma Pendidikan Akhlak dalam Islam. CV. Pustaka Setia.

Juarsih, C. (2014). Pengembangan Kurikulum Dalam Implementasi Standar Proses Pendidikan Siswa. PT Rinerka Cipta.

Junaedi, M., & Wijaya, M. M. (2021). ISLAMIC EDUCATION DEVELOPMENT BASED ON UNITY OF SCIENCES PARADIGM. Ulul Albab22(1), 292.

Kusnan, A. (2017). Implikasi Gerakan Pembaharuan K.H. Mas Abdurahman. Tamaddun5(1), 51.

Ma’Shum, S. (2019). Menapak Jejak Mengenal Watak-Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU. Yayasan Saifudin Zuhri.

Mawardi, D., & Supadi, S. (2018). Concentration on Learning Program Development in Islamic Education. Al-Hayat: Journal of Islamic Education2(2), 222–239.

Mu’izzuddin, M., Juhji, J., & Hasbullah, H. (2019). Implementasi metode sorogan dan bandungan dalam meningkatkan kemampuan membaca kitab kuning. Geneologi PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam6(1), 43–50.

Muazza, M., Mukminin, A., Habibi, A., Hidayat, M., & Abidin, A. (2018). Education in Indonesian islamic boarding schools: Voices on curriculum and radicalism, teacher, and facilities. Islamic Quarterly62(4), 507–536.

Nata, A. (2015). Sejarah Pendidikan Islam Periode Klasik dan Pertengahan. PT Raja Grafindo Persada.

Nizar, S. (2007). Sejarah Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group.

Ridhlo, S. (2019). Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. SCHOLASTICA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan1(1), 176–199.

Rosidin, D. N. (2018). Membela Islam Mathla’ul Anwar: Di Tengah Arus Perubahan Agama, Sosisla, Budaya dan Politik Di Indonesia. CV. Elsi Pro.

Subhan, A. (2009). Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20. UIN Press.

Sukardi. (2003). Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Oprasionalnya. Bumi Aksara.

Syalafiyah, N., & Harianto, B. (2020). Pembaharuan Dakwah Pendidikan Islam di Sumatera Barat. J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam1(1).

Syarjaya, E. S., & Jihaduddin. (1996). Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khithah Mathla’ul Anwar. Pengurus Besar Mathla‟ul Anwar.

Thoyyib, M. (2019). Peran Ulama Abad Xix Dalam Mengembangkan Pesantren Di Indonesia: Studi Atas Pemikiran Abdurrahman Mas’ ud Tentang Pendidikan Pesantren.". Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman9(2), 134–145.


Posting Komentar

0 Komentar