A.
Pendahuluan
Pendidikan pada
hakekatnya adalah upaya mewariskan nilai-nilai yang akan menjadi penolong dan
pedoman umat manusia dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk meningkatkan
nasib dan peradaban umat manusia (Mawardi & Supadi, 2018). Tanpa pendidikan, diyakini
bahwa manusia tidak berbeda dengan generasi manusia masa lalu jika dibandingkan
dengan keterbelakangannya, baik kualitas hidupnya maupun proses merancang masa
depannya. Bahkan secara ekstrim, maju mundurnya atau buruknya peradaban suatu
masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dilakukan
oleh masyarakat bangsa tersebut (Junaedi & Wijaya, 2021).
Proyeksi
keberadaan dan realitas pendidikan, khususnya budaya Islam, memang tidak bisa
dilepaskan dari proses pendidikan masa lalu. Sekolah Islam pada masa awal
(zaman Nabi SAW), misalnya, tampak bahwa upaya pewarisan nilai diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu akidah sesat yang
dianut oleh kelompok Quraisy. Gagasan baru yang dibawa dalam pendidikan Nabi
untuk menginternalisasikan nilai-nilai keimanan, baik individu maupun kolektif,
untuk menghancurkan semua keyakinan jahiliyah yang ada saat itu dan dinilai
sangat menguntungkan karena lambat laun berbentuk kemusyrikan, dan menjadikan
tauhid sebagai ajaran moral landasan dalam kehidupan manusia (Ilham, 2020). Pendidikan yang berlangsung
dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan ini pun lebih berkaitan dengan
upaya-upaya dakwah Islamiyyah-penyebaran, penanaman dasar-dasar kepercayaan dan
Ibadah Islam.
Sehingga belum
terdapatnya perangkat pendidikan yang formal dan sistematis. Setelah itu
perkembangan-perkembangan berlanjut. Kemunculan madrasah pertama yang didirikan
oleh Wazir Nizham al-Mulk pada tahun 457-459/1065-1067 yaitu Madrasah Nizhamiyah.
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah yang pertama kali muncul dalam sejarah
Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang
dikelola pemerintah (Nizar, 2007), yang merupakan prototype awal
bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam
penyelenggaran pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan
Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama (Nata, 2015).
Perkembangan
pendidikan Islam tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Islam di Indonesia yang
masuk pada abad ke-9 mulai di kenalnya pendidikan pesantren. Pendidikan
pesantren pada umunya sama dengan model pendidikan ketika di zaman Rasulullah
Saw (Muazza et al., 2018). Pengajaran yang menggunakan
metode sorogan dan bandongan, serta hanya pelajaran agama Islam saja yang
diajarkan (Mu’izzuddin et al., 2019). Awal abad ke 20 merupakan titik
tolak transformasi Islam di Indonesia. Berbagai perubahan dan pembaharuan baik
sosial, ekonomi, budaya, politik hingga agama yang muncul secara massif seperti
jamur di musim hujan. Inilah yang sering kali disebut puncak modernisasi Islam.
(Amin & Rasmuin, 2019).
Namun demikian, proses
ini bukanlah datang begitu saja tetapi setelah melalui berbagai proses yang
pastinya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya intensifnya hubungan
Nusantara dengan Timur Tengah melalui peranan haji dan pelajar yang melakukan
studi lanjutan, serta munculnya teknologi percetakan yang memungkinkan
tersebarnya ide-ide baru dengan lebih cepat. Dalam kurun waktu tersebut,
transmisi pengetahuan Islam dan juga transformasi masyarakat Islam di Indonesia
khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya hingga abad ke 19 dan 20 tidak lepas
dari peran para pelajar yang pulang dari Hijaz (Ridhlo, 2019). Melalui mereka, pemahaman
ajaran Islam beserta teks-teks dan lembaga pendidikan Islam dalam bentuknya
muncul dan berkembang di Nusantara.
Para haji yang
baru pulang secara mandiri maupun kelompok berinisiatif mendirikan berbagai
organisasi persyarikatan Islam modern. Seperti pada tahun 1905, masyarakat Arab
yang tinggal di Jakarta yang melihat bidang pendidikan sebagai lahan paling
menjanjikan dalam melakukan reformasi kaum Muslim mendirikan sebuah organisasi
bernama Jami‟atul Khair. Sebagai langkah pertama, organisasi ini membuka
Sekolah Dasar, di antara mata pelajarannya adalah aritmatika, geografi, sejarah
Islam bahkan bahasa Inggris dan Bahasa Melayu digunakan sebagai Bahasa pengantar.
Sekolah ini menerima siswa yang berasal baik anak-anak keturunan Arab maupun
non-Arab (Hayati, 2018).
Dalam suasana
yang bergelora itulah K.H Mas Abdurrahman turut hadir di panggung sejarah
Indonesia dengan menyumbangkan tenaga, pemikiran serta jiwanya. Ia dilahirkan
di Kampung Janaka Desa Ciput, Kecamatan Labuhan Kabupaten Pandeglang (sekarang
Masuk Propinsi Banten) pada tahun 1875. Pada tahun
1916 K.H. Mas Abdurahman memprakarsai berdirinya sebuah lembaga pendidikan
Islam yang nantinya berkembang menjadi organisasi social keagamaan, yang diberi
nama Mathla’ul Anwar dengan dukungan Kiai Haji Sholeh Kenanga, Kiai Haji Entol Muhamad
Yasin dan lain-lain (Thoyyib, 2019).
Mathla’ul
Anwar adalah lembaga pendidikan yang dibangun oleh K.H. Mas Abdurahman dengan
visual sistem modernis dan tradisionalis, dengan membuka kelas A, B, I, II,
III, IV, V, VI, VII. Tingkat pendidikan yang dibuka dalam Sembilan tahun itu
untuk tingkat ibtidaiyah dan tingkatan lanjutan pertama atau tsanawiyah (Ali et al., 2018). Keinginan K.H. Mas
Abdurahman dalam menciptakan pembaharuan di atas, diharapkan dapat membentuk
masyarakat Indonesia yang mempunyai peradaban yang lebih maju, karena apabila
masyarakat mempunyai peradaban yang lebih maju maka akan menjadikan Negara dan
Bangsa ini menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Kiprah atau derap
kegiatan pendidikan Islam oleh K.H. Mas Abdurahman begitu banyak. Keinginannya dalam
mewujudkan masyarakat menjadi lebih baik begitu kuat.
B.
Biografi KH. Mas
Abdurrahman
KH. Mas
Abdurrahman merupakan nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia
dilahirkan di Kampung Janaka, salah satu dusun kecil dan sejuk berada di kaki
bukit Haseupan Desa Ciput Kecamatan Labuhan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten pada tahun 1875 (Ma’Shum, 2019). Ia merupakan anak dari seorang
kiyai di Janaka KH. Mas Jamal yang mengasuh sebuah pesantren kecil di sana.
Nasabnya bersambung ke Ki Mas Jong (Ali et al., 2018). Sebagaimana diakaui dalam
legenda Banten tergolong orang yang pertama kali memeluk Islam dan menjadi
pengikut setia Sultan Maulana Hasanudin. Gelar Mas merupakan gelar kehormatan
yang diberikan secara turun menurun dan berasal dari nama seorang Senopati
Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan kanan raja
Pajajaran bernama Pucuk Umum (Rosidin, 2018).
Kiayi Mas Jamal,
ayahanda K.H. Mas Abdurahman, bukan termasuk orang yang mampu dalam hal
ekonomi. Tetapi karena keinginannya yang kuat untuk menunaikan ibadah haji.
Pada tahun 1903, Mas Jamal yang sedang melaksanakan haji di Mekkah meninggal
dunia. Setelah mukim selama sepuluh tahun di Mekkah, Mas Abdurrahman kembali ke
Menes pada tahun 1910. Kepulangannya ini tidak lepas dari permintaan khusus
dari salah seorang ulama Banten yang mempunyai kharismatik tinggi dan dikenal
sebagai faqih (ahli hukum Islam) yakni Kiai Haji Muhamad Tubagus Sholeh yang
nantinya menikahkan Mas Abdurrahman dengan salah seorang putrinya bernama Nyai
Enong. Akan tetapi pernikahan ini tak berlangsung lama karena istrinya
meninggal dunia pada saat menjalankan ibadah haji di Mekkah (Thoyyib, 2019).
Setelah itu, Mas
Abdurrahman menikah tiga kali secara berurutan antara lain dengan Ibu Menot
Aminah
binti Haji Ali dari Soreang Menes, Ibu Ijot Khodijah binti Kiyai Samin berasal
dari Soreang Menes, dan Ibu Enjoh binti Haji Safik berasal dari Langensari,
Pandeglang. Dari
ketiga istri itu ia memiliki lima belas anak: Emed, Muhammad Habri, Hamid,
Enong, Eno, Adung Abdurahman, Mariah, Bayi, Khalid, Muslim, Muslimah, Muhammad
Nahid, Zahriah, Zahra, dan Munjiah. Ketika K.H. Mas Abdurahman memiliki anak,
ia pun mengajari anak-anaknya dasar-dasar ilmu agama Islam dan setelah itu menitipkan
mereka di pesantren lain dengan tujuan mendapatkan pengalaman apa yang ia
dapatkan ketika ia seusia anaknya, lebih khususnya pengalaman pesantren. Untuk
memenuhi biaya rumah tangga, K.H. Mas Abdurahman bertani seperti menanam pohon
karet, kelapa, tanaman darat, menanam padi di sawah serta berjualan kitab-kitab
hasil karangannya sendiri atau karangan orang lain yang dipergunakan untuk
madrasah dan lain sebagainya.
Sejarah kemudian
mencatat bahwa anak-anak Mas Abdurahman akan memainkan peran yang lebih besar
di Mathla‟ul Anwar. Anak yang bernama Muslim diangkat sebagai ketua umum Pengurus
Pusat Mathla‟ul Anwar Pusat sejak 1973-1974. Sementara itu Kholid dan Nahid
masing-masing menepati jabatan ketua Perguruan Pusat di Menes dari 1974 sampai
1977 dan 1985 sampai 1986. Jika ayahnya mengambil peran sebelum kemerdekaan,
maka kekuasaan kepemimpinan mereka menonjol setelah kemerdekaan. Ini merupakan
perngaruh sosok dari seorang ayahnya K.H. MasAbdurahman. K.H Mas Abdurahman
wafat sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1942 (Rosidin, 2018).
K.H. Mas
Abdurahman sudah tidak asing lagi di mata masyarakat Menes Banten, kepercayaan
ini datang ketika ia mempunyai kekuatan luar biasa serta ketinggian ilmu yang
telah dipelajarinya baik itu di Nusantara maupun di Mekkah. Di Mekkah ia pernah
belajar pada Kiai Nawawi Al-Bantani yang merupakan ulama terkenal yang
mempunyai banyak murid, baik itu yang berasal dari Indonesia atau dari negara
Islam lainnya yang mempunyai majelis di Masjidil Haram Mekkah bahkan K.H. Mas
Abdurahman pernah dijadikan badal mengajar oleh Kiai Nawawi Al Bantani
sehingga membuat ia dikenal luas oleh para pelajar terutama yang berasal dari
Banten.
Sosok Ayah dari K.H.
Mas Abdurahman yang merupakan salah seorang kiai yang dihargai di daerahnya
namanya yakni Kiai Mas Jamal. Walaupun tinggal di sebuah dusun terpencil yang
sukar dijangkau namun ia memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap
masa depan putranya. Ia berfalsafah “bahwa ia tidak ingin meninggal dunia
sebelum putranya berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai”.
9 Atas dasar falasafah tersebut K.H. Mas Abdurahman mendapat pendidikan agama
secara baik sejak masa kanak-kanak dari lingkungannya sendiri yakni dari
ayahnya, yang mempunyai cita-citayang tinggi karena ingin Mas Abdurahman
menjadi alim ulama dan meneruskan pembelajarannya sampai ke Mekkah. Setelah
menginjak usia remaja ia dikirim untuk melanjutkan studinya ke berbagai
pesantren di Jawa Barat di antaranya kepada Kiai Sohib pemilik Pondok Pesantren
Kedung Pinang, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia juga belajar mengaji kepada
Kiai Ma‟mun yang terkenal dengan Bacaan Al-Qur‟annya (Qiraah).
Meninggalnya
Ayahnya K.H. Mas Abdurhaman di Mekkah ada keinginan untuk mencari makam ayahnya
itu. Kesempatanya untuk ke Mekkah ada saat K.H. Mas Abdurahman pada tahun 1905
akan menunaikan ibadah haji. Dengan bekal hanya cukup untuk ongkos pergi, K.H.
Mas Abdurahman pun berangkat ke tanah suci. Disamping menunaikan utuk bermukim
guna menuntut ilmu agama sekaligus berziarah ke makam ayahandanya walaupun
tidak jelas kuburannya. Semua hambatan dan
rintangan, baik uang saku yang terbatas maupun kondisi alam di Makkah yang
berbeda dengan Indonesia berhasil ia atasi. Karena uang saku yang minim, selama
tinggal di Mekkah ia memilih untuk tidur maupun belajar di dalam Masjidil Haram.
Kendati hidup pas-pasan, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat K.H. Mas
Abdurahman untuk menimba ilmu. Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh
perhatian dan ketekunan walaupun sarana serta peralatan menulis tidak lengkap.
Karenanya, ia lebih banyak mengendalikan pendengarannya. Dengan sistem hafalan,
ia berhasil menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya, khusunya dalam bidang
agama seperti ilmu bahasa Arab, fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, balaghah,
tafsir, dan tasawuf.
Seluruh pelajaran
diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walau sarana serta peralatan
menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya
dalam menyerap ilmu pengetahuan khususnya di bidang agama sangat mendalam, di
antaranya ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Dengan
keberhasilannya tersebut, K.H. Mas Abdurahman direncanakan akan diangkat
menjadi badal (Asisten Dosen) pengajian di Mesjidil Haram, tetapi hal
ini tidak berlanjut, karena adanya permohonan dari para Ulama/Kiai Menes,
Banten agar ia segera kembali ke tanah air. Salah satu pertimbangan pokok,
kenapa K.H. Mas Abdurahman menerima tawaran itu adalah karena ia ingin mengembangkan
system pendidikan Islam di daerah Menes. Tapi rencana ini tidak segera
dilotarkan ke masyarakat. Ia terlebih dahulu harus menyelesaikan berbagai
problem sosial yang ada di masyarakat Menes (Ma’Shum, 2019).
K.H. Mas
Abdurrahman adalah tokoh yang memiliki banyak karya melalui sejumlah tulisan
yang disusun. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis beberapa buku tentang
berbagai masalah keagamaan, di antaranya yaitu AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz
tentang tata cara pemakaman jenazah menurut Islam, Ilm al-Tajwid
tentang aturan baca AlQuran, Al-Takhfif tentang tata Bahasa Arab, Miftah
Bab al-Salam tentang hukum Islam, dan Fi Arkan al-Iman wa al-Islam
tentang teologi. Semua buku ini ditulis dalam tulisan Melayu Arab (Jawi),
dengan bahasa Sunda sebagai mediumnya. Semua buku ini dipersiapkan sebagai
rujukan utama untuk studi-studi agama di Madrasah Mathla‟ul Anwar. Dari
sekian banyak karya K.H. Mas Abdurahman, buku AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz
merupakan karya yang fenomenal karena buku tersebut sampai hari ini masih
banyak dibaca, dan menjadi buku rujukan dalam pembelajaran di Mathla‟ul Anwar.
Buku ini tidak saja diperuntukan untuk para siswa namun dipakai juga untuk masyarakat
umum.
Setelah beberapa
lama menderita sakit dan masih ditakdirkan Allah untuk dapat mengambil air
wudhu dan sholat walaupun dengan berbaring, akhirnya pada hari Rabu tanggal 27
Sya’ban 1363 H bertepatan dengan 16 Agustus 1944 dengan disaksikan oleh
sebagian istri an anak-anaknya, K.H. Mas Abdurahman pulang ke Rahmatullah untuk
selama-lamanya. Beribu-ribu umat Islam hadir serta pejabat Pemerintah Jajahan
Jepang dari Kabupaten Pandeglang dan Banten hadir untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada K.H. Mas Abdurahman yang dilakukan di daerah Cikaliung Sodong (Thoyyib, 2019).
C.
Pemikiran
tentang Pendidikan Islam dan Kontribusinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam
Pemikiran
mengenai pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Mas Abdurrahman ternyata
sangat berkontribusi dalam pengembangan pendidikan Islam yakni salah satunya
terhadap para alumni madrasah yang ia dirikan dimana para siswa yang pernah
belajar pada sang guru memberikan dampak yang positif terhadap kampong halaman
mereka, disamping itu banyak santri yang mendirikan madrasah cabang di
daerahnya masing-masing yang menginduk pada madrasah pusat. Berikut ini
merupakan beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Islam KH. Mas
Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam dalam masyarakat luas:
Modernisasi
dalam bidang pendidikan setidaknya meliputi 4 unsur diantaranya: system
pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Di
bidang pendidikan KH. Mas Abdurrahman melakukan beberapa kontribusi
diantaranya:
1.
Pengelolaan
Sistem Madrasah Putra-Putri
Sebelum
berdirinya madrasah Mathla’ul Anwar, Banten telah mengenal dua macam system
pendidikan Islam yakni langgar dan pesantren. Salah satu yang menjadi dorongan
utama dibalik pendirian madrasah Mathla’ul Anwar adalah modernisasi yang
dilakukan dengan bertujuan menyempurkan dan bukan menggantikan. Langkah pertama
yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mendirikan sebuah
madrasah berdasarkan system kelas dengan maksud menerapkann system pendidikan
dengan menggunakan standar kurikulum yang baku dan jelas (Syarjaya & Jihaduddin, 1996). Gagasan modernisasi pendidikan
Islam telah tersebar luas di Nusantara ketika itu. Sejak tahun 1909 sejumlah
sekolah Islam telah mengadopsi sistem kelas seperti Madrasah Adabiyah dan
Sumatra Thawalib di Sumatra Barat (Syalafiyah & Harianto, 2020).
Dalam
perkembanganya intitusi madrasah semakin beragam pembelajarannya, disamping
Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber utama doktrin Islam, muncul berbagai
jenis ilmu lain. Sebagian merupakan ilmu-ilmu yang dimaksudkan sebagai alat bantu
memahami Al-Qur’an seperti tata bahasa, sebagian lain merupakan hasil
penafsiran atas Quran seperti Fiqh (Subhan, 2009). Modernisasi system pendidikan
Islam di Mekkah konon juga memberi kesan yang mendalam pada diri Mas Abdurrahman
sehingga kemudian ia merintis gerakan modernisasi madrasah di Mathla’ul Anwar
pada tahun-tahun sesudahnya.
Mathla‟ul
Anwar membuka madrasah secara resmi pada tanggal 9 Agustus 1916 M yang
bertepatan dengan 10 Syawal 1334 H. Selaku mudir, K.H.Mas Abdurahman
memanfaatkan fasilitas yang seadanya setelah Kiyai Mustagfiri salah seorang
pendiri Mathla‟ul Anwar memberikan rumahnya sebagai ruang kelas sementara.
Untuk memulai itu semua, ia menyusun kurikulumnya, melakukan rekruitmen guru
sekaligus bertindak sebagai pengendali mutu seluruh kegiatan proses belajar mengajar.
Setelah berjalan selama beberapa bulan, madrasah mendapatkan sambutan positif
dari masyarakat baik dalam bentuk kepercayaan maupun bantuan lainnya. Para
penduduk sekitar mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar. Banyak murid yang belajar
di Mathla’ul Anwar telah berhasil meyakinkan orang kaya setempat, seperti
bernama Ki Demang Entol Jasudin untuk mewakafkan tanahnya kepada
madrasah (Rosidin, 2018).
Dengan
bantuan dan dukungan dana dari masyarakat sekitar itulah Mathla’ul Anwar
akhirnya mampu mendirikan bangunan madrasah yang pertama dan menjadi pusat
kegiatan pendidikan Islam hingga sekarang. ndirikan madrasah khusus putri.
Namun bangunan madrasah tersebut terpaksa dipisahkan dari madrasah utama yang
dikhususkan untuk laki-laki. Pendirian madrasah putri menunjukan bahwa Mathla’ul Anwar mempunyai pandangan yang lebih maju dan tegas
tentang kedudukan wanita dibandingkan dengan pemahaman yang berkembang di
masyarakat saat itu yang masih mengganggap tugas wanita tidak lebih dari
bertugas di dapur dan melayani suami serta mengurus anak dan kehidupan sehari-hari
saja. Dengan adanya Madrasah Putri Mathla’ul Anwar posisi wanita dalam
penguasaan ilmu memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Banyaknya
pemimpin yang menolak gagasan penyatuan menjadi alasan pemisahan tersebut.
Untuk mengelola madrasah ini, Mathla’ul Anwar mengangkat Hajjah Siti Zainab,
putri Entol Mohammad Yasin sekaligus menantu Tubagus Mohammad Sholeh sebagai
direktur. Mathla’ul Anwar juga kemudian mengangkat Nyi Kulsum dan Nyi Afiyah
sebagai guru sekaligus membantu tugas direktur. Di bawah kepemimpinan mereka,
madrasah putri kemudian dapat berkembang dengan pesat dimana memiliki ratusan
siswi yang ikut belajar di dalamnya. (Jamaluddin, 2013)
Pada
tahun 1938 Mathla’ul Anwar menerbitkan aturan tentang sistem persekolahan baru
dengan urutan sebagai berikut Madrasah Awwaliyyah atau pra-sekolah dasar (dua
tahun), Madrasah Ibtidaiyah (enam tahun), Madrasah Tsanawiyah (tiga tahun), dan
Madrasah Muallimin Wustha (dua tahun), dan Madrasah Muallimin ‘Ulya yang setara
dengan tingkat universitas (tiga tahun). Para siswa yang ingin menamatkan pendidikan
mereka di madrasah-madrasah ini harus menempuhnya selama enam belas tahun.
Kembali ke madrasah untuk murid laki-laki, di tahun-tahun awal
berjalannya madrasah ini, K.H. Mas Abdurahman mengajar di madrasah. Pada saat
yang sama, juga bertugas merekrut guru-guru dari kalangan kiai muda di Menes seiring
dengan bertambahnya kelas. Di antara yang direkrut adalah Kiai Hamdani, Kiai
Abdul Latif dan lain-lain. Pada akhir 1920an, ada sembilan guru yang mengawasi
sembilan kelas. Setelah dirasa cukup memadai, Mas Abdurrahman mengundurkan diri
dari kegiatan mengajar dan memutuskan untuk memusatkan perhatian pada
tugas-tugasnya sebagai mudir urusan pendidikan.
Pada tahun pertama pendirian madrasah siswa-siswanya ia datangkan
dari sekitar Menes. Kebanyakan dari mereka adalah santri-santri seperti santri
dari pesantrennya Kiai Haji Muhamad Soleh dari Kananga, santri dari pesantren
Kiai Haji Arsyad dari Tegal dan tempat-tempat lainnya. Selain itu ternyata
sambutan masyarakat untuk memasukan anaknya ke madrasah yang didirikan oleh
K.H. Mas Abdurahman sangat menggembirakan sehingga untuk tahun kedua tidak
tertampung lagi tempat belajarnya (Ali et al., 2018).
2.
Penerapan Sistem
Klassikal
Visi
muda yang dimiliki oleh K.H. Mas Abdurahman sangat begitu visoner. Keinginannya
dalam mentransformasi pendidikan Islam begitu kuat. Dengan dasar ingin merubah
kondisi masyarakat yang mengalami keterbelakangan. Dia membawa pendidikan Islam
sebagai upaya mencerdaskan dan merubah masyarakat. Masyarakat iajak untuk
belajar di lembaga pendidikan Islam yang dinamakan madrasah Mathla‟ul Anwar.
Oleh karena itu, penyelenggaraan program pendidikan yang dilaksanakan di
Mathla‟ul Anwar ialah dengan menggabungkan sistem madrasah dengan sistem
pesantren. Penggabungan dua sistem ini dianggap penting karena tujuan utama
pendidikan Mathla’ul Anwar ketika itu ialah untuk menghasilkan calon-calon
da’i profesional yang luas wawasan keilmuannya dan mulia akhlaknya.
Penggabungan
sistem ini dianggap cukup tepat mengingat bahwa tujuan pendidikan agama tidak hanya
terletak pada segi pengetahuan semata tetapi juga meliputi aspek penghayatan, pengamalan
dan pembiasaan ibadah serta kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Pada awalnya para
siswa atau santri mengalami kesulitan mengikuti sistem ini, karena mereka
sebelumnya terbiasa dengan kultur dan sistem pesantren yang lebih longgar dalam
disisplin dan jadwal waktu belajar. Para santri biasanya mengikuti proses belajar
pola sorogan atau bandongan dengan gaya santai dan bebas, adakalanya santri
mengikuti pengajaran dengan duduk bersila, dengan meluruskan kaki ke depan, duduk
dengan bertumpu pada satu kaki dan kaki yang lain dilipat ke atas. Namun,
biasanya kiai memakluminya karena cara ini biasanya dilakukan oleh santri yang
mubtadiin.
Di
pesantren sistem yang digunakan adalah sistem tutorial dengan cara
bandongan atau sorogan. Cara bandongan
adalah sekelompok santri antara lima sampai lima ratus orang mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan dan sering kali mengulas
buku-buku Islam berbahasa Arab. Sedangkan cara sorogan ialah seorang murid menghadap
guru untuk membacakan dan menerjemahkan
sebuah buku Islam dalam bahasa arab, kemudian san guru mendengarkan sekaligus melakukan
koreksi bahkan terkadang diselingi dengan ulasan yang singkat (Mu’izzuddin et al., 2019).
Namun
Madrasah Mathla’ul Anwar menerapkan sistem klasikal. Dari tahun 1916 hingga 1920,
Mathla‟ul Anwar menjalankan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, B, dan I yang
masing-masing berlangsung selama setahun pelajaran. Pada tahun 1920, Mathla‟ul
Anwar memperluas jumlah kelasnya menjadi tujuh kelas untuk setiap satu tahun
angkatan yang terdiri dari kelas A, B, I, II, III, IV, V. Pada tahun 1927,
Entol Junaedi, putra K.H. Muhamad Entol Yasin dan baru saja pulang dari belajar
di Universitas Al-Azhar Kairo, mengusulkan perluasan lagi jumlah kelas. Gagasan
ini diterima dan dijalankan pada tahun itu juga. Hasilnya, Mathla’ul Anwar
mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran mulai dari A, B,
I hingga VII. Pola sembilan kelas ini berlanjut hingga tahun 1950 ketika sistem
ini dirubah untuk disesuaikan dengan sistem pendidikan nasional yang merupakan
hasil reformasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia merdeka (Ali et al., 2018).
3.
Pembaharuan
Kurikulum
Dalam
bidang pendidikan kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model
pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana
pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Pada kenyataannya,
sebagian pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata
yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus
ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu (Juarsih, 2014). Di
pesantren, kurikulum yang digunakan adalah disesuaikan dengan kemampuan kiai,
jika kiai mahir di bidang aqidah maka kurikulum yang diajarkan adalah kitab
atau mata pelajaran yang berkaitan dengan bidang aqidah. Namun K.H. Mas
Abdurahman melakukan pembaharuan dengan memasukan mata pelajaran umum seperti
berhitung, membaca, bahasa Inggris, dan ilmu alam (Kusnan, 2017).
Pada masa
kepemimpinan K.H. Mas Abdurahman sebagai mudir urusan pendidikan, K.H. Mas
Abdurrahman memiliki kekuasaan penuh untuk menyusun kurikulum bagi madrasah. Kurikulum
yang dilaksanakan dimadrasah Mathla’ul Anwar umumnya adalah pengajaran kitab-kitab
agama (Kitab Kuning) dan kitab-kitab lain yang bersifat penunjang. Ia
menetapkan bacaan yang akan dipelajari dan diawasi secara langsung. Selain itu,
ia menyusun beberapa buku untuk digunakan di madrasah, seperti ‘Ilm
al-Tajwid, Nahwu alJamaliyyah, ‘Ilm al-Bayan dan kitab-kitab kecil lainnya
yang telah disebutkan sebelumnya. Kurikulum
yang ia susun juga memasukkan unsur keterampilan seperti pelatihan dakwah dalam
bentuk muqabalah (layanan masyarakat) dengan pengiriman murid dari kelas
enam hingga delapan untuk berdakwah secara langsung kepada masyarakat
didesa-desa sekitar. Pelatihan ini dilaksanakan setiap Kamis.
Proses
belajar mengajar madrasah Mathla‟ul Anwar dimulai pada pukul delapan pagi
sampai pukul dua belas siang dengan waktu istirahat sekali selama kurang lebih
setengah jam. Waktu libur yang dijadwalkan ialah hari Kamis dan Jum’at. Pada
hari Kamis diadakan kursus atau pengajian untuk menambah ilmu pengetahuan bagi
dewan guru yang diberikan oleh K.H. Mas Abdurahman yang bertempat di mesjid
Soreang (Kusnan, 2017).
Pada
akhir tahun 1930an, Mathla‟ul Anwar menambah beberapa mata pelajaran umum dalam
kurikulumnya seperti bahasa Indonesia, sejarah dunia, geografi dan beberapa
ilmu alam. Masuknya mata pelajaran umum dalam kurikulum lembaga pendidikan
Islam bukanlah hal baru, karena sejumlah sekolah modern Islam telah
mengadopsinya sejak decade kedua abad kedua puluh seperti Muhammadiyah,
Al-Jami’ah alIslamiyah dan Sekolah Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Sejak
itu, kebanyakan madrasah di Nusantara memasukkan mata pelajaran umum dalam
kurikulum mereka, meskipun berbeda-beda presentasenya dibandingkan dengan
pelajaran agama (Ali et al., 2018).
a.
Sistem Kelas
Tahun 1916 K.H Mas
Abdurahman membuka madrasah dengan menjalankan aktivitas pendidikan dengan
menggunakan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, kelas B, dan Kelas I. masing-masing
berlangsung selama setahun pelajaran. Ini menjadi modal K.H. Mas Abdurahman
dalam mengembangkan pendidikan berjengjang.
Setelah
murid-murid K.H. Mas Abdurahman lulus dari madrasah Mathla‟ul Anwar kemudian
diantaranya ada yang melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Kairo yaitu Entol
Junaedi putra Entol Moh Yassin. Setelah Entol Junaedi kembali ke Indonesia pada
tahun 1927 dia mengusulakan perluasan lagi jumlah kelas. Kemudian gagasan ini
diterima dan disetuji oleh K.H. Mas Abdurahman. Sehingga madrasah Mathla’ul
Anwar mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran, dimulai
dari kelas A, kelas B, kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas
VI dan kelas VII (Rosidin, 2018).
Kemudian setelah
terbentuknya sistem kelas dengan sembilan tingkatan dilakukan penyeragaman dari
tiap-tiap cabang madrasah yang dilakukan oleh direktur (mudir) K.H. Mas
Abdurahman guna menjaga kualitas hasil didikan yaitu, bahwa seluruh cabang
Mathla‟ul Anwar hanya mendapat izin untuk membuka sampai kelas IV. Untuk
menyelesaikan pendidikan sampai kelas VII para lulusan madrasah cabang harus
menyelesaikannya di Mathla’ul Anwar pusat di Menes (Ali et al., 2018).
b.
Bahan Ajar
1)
Tarjamah Jamillah atas Matan
Ajurumiyah. Tarjamah Jamilah atas Matan Ajurumiyah telah jelas dari judulnya,
buku ini merupakan terjemahan kitab tipis matan jurumiyah, yang membahas
tentang ilmu nahwu dan tata bahasa Arab.
2)
Aljawaiz fi Ahkam al-Janaiz. Kitab
Aljawaiz fi Ahkam Aljanaiz adalah sebuah kitab elementer berbahasa Sunda dengan
huruf pegon (Arab), yang secara komprehensif membahas seluk beluk hukum
mengurus jenazah yang benar dan sesuai dengan paham ajaran Islam Ahlussunnah
waljama’ah (Abdurahman, 2010).
3)
Al-Musamma bi al-Takhfif fi ‘ilm
al-Tashrif. Melengkapi terjemahan Jurumiyah, K.H. Mas Abdurahman juga menulis
sebuah kitab kecil dalam bidang sharaf, yakni gramatika bahasa Arab. Kitab
tipis ini merupakan usahanya untuk melengkapi bahan ajar bagi penguasaan bahasa
Arab di lingkungan Mathla‟ul Anwar. Secara fisik buku ini berukuran 20x12 cm, dengan
tebal 38 halaman dan masing-masing halaman berjumlah 18 baris. Sesuai
keterangan di akhir buku, naskah ini selesai ditulisnya pada hari Senin 9
Ramadhan 1371 H (tanggal ini jelas perlu diverifikasi ulang, karena tahunya
yang hampir pasti tidak tepat atau mungkin lebih merupakan tahun penulisan
ulang yang dilakukan penerbitnya).
4)
Mandzumat fi Bayani Asbab
al-Hifdzi wa al-Ghina. Naskah ini merupakan hal yang unik dan satu-satunya yang
ditulis dalam bentuk nadzam dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga
bahasa sekaligus: Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara
bergantian. Uniknya lagi, nadzam atau syair dalam ketiga bahasa yang dipakainya
memiliki tingkat kualitas sama baiknya.
5)
Kumpulan lima Khutbah. Buku atau
kitab tipis ini berukuran saku ini (setebal 36 halaman) berisi tentang lima
khutbah, yakni Idul Fitri (1-12), Idul Adha (12-19), Khutbah Jum‟at (20-27),
Khutbah Nikah (27-31), dan Talqin Mayyit (32-36). Dalam penelusuran naskah di
lapangan, penulis mendapatkan 3 (tiga) versi penerbit, yakni dalam bentuk
tulisan tangan, cetak batu, dan cimputized. Ini mengindikasikan, sebagaiman
peran informan mengatakan, bahwa buku kumpulan lima khutbah ini merupakan buku
penting dan digunakan oleh masyarakat berbagai kalangan dan dijadikan bahan
rujukan khutbah diberbagai tempat.
6)
Dua Risalah Miftah Bab al-Islam
fi Arkhan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al - ‘Athsyan. Buku berukuran sedikit
lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang ruku Islam dan rukun
iman serta tentang cara membaca Al-Qur‟an (tajwid). Naskah pertama berjudul
Miftah Bab As-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat
Al„Athsyan fi Tajwid al-Quran (hal 16-43).
c.
Media Belajar
Madrasah dalam
menjalankan kegiatan belajar mengajar (KBM) menggunakan perlengkapan yang
modern pada waktu itu, seperti menggunakan papan tulis, bangku, dan meja,
meskipun belum mewajibkan pakaian seragam waktu itu, karena para siswa di
pesantren pada umumnya terbiasa memakai sarung. Dalam sumber buku, para siswa
mulanya merasa tidak merasa nyaman karena mereka tidak pernah menggunakan
alat-alat seperti ini untuk belajar di pesantren (Rosidin, 2018).
4.
Evaluasi
Pembelajaran
Aspek
penting lain dalam teknologi pengajaran adalah evaluasi atau penilaian dalam
pengajaran tidak semata-mata dilakukan terhadap hasil belajar, tetapi juga
harus dilakukan terhadap proses pengajaran itu sendiri. Evaluasi harus
dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para
siswa yang dievaluasi. Dengan evaluasi tersebut dapat dilakukan revisi program
pengajaran dan strategi pelaksanaan pengajaran. Dengan kata lain, ia dapat
berfungsi sebagai umpan balik dan remedial pengajaran (Sukardi, 2003).
Di
pesantren, tidak ada evaluasi dalam mengukur sejauh mana santri dalam mengikuti
pembelajaran, serta santri kebanyakan lama sekali dalam mengikuti pembelajaran,
oleh sebab itu K.H. Mas Abdurahman mengadakan evaluasi terhadap hasil
pembelajaran melalui ujian yang dilakukan pada akhir setiap tahun akademik
(haul), siswa madrasah Mathla’ul Anwar akan mengikuti ujian akhir.
Mereka
yang lulus ujian akan naik ke kelas berikutnya. Sementara bagi yang gagal,
mereka harus mengulang kelas yang sama selama setahun lagi. Madrasah juga
memiliki aturan program akselerasi dengan mengizinkan siswa unggul untuk
melewati satu atau dua kelas. K.H. Mas Abdurahman beserta beberapa guru senior
yang ditunjuk secara langsung menyelenggarakan ujian tersebut. K.H. Mas Abdurahman
bahkan bertindak sebagai penguji. Menurut beberapa mantan muridnya, ujian
berlangsung dengan sangat ketat. Sementara dari sisi waktu pelaksanaanya, ujian
akhir tersebut biasanya diadakan pada bulan Safar dan Rabiul Awwal.
Setelah
ujian selesai, ada acara tahunan (Ihtifalan) untuk menandai berakhirnya tahun
ajaran tersebut. Acara ini biasanyadiselenggarakan pada tanggal 20 Rabi’ul
Tsani. Dalam acara ini, mereka yang menamatkan pelajaran merayakan kelulusan
dan pada saat itu pula Mathla’ul Anwar memberikan ijazah bagi mereka yang telah
menamatkan Sembilan tahun masa belajar. Ijazah ini dipandang sebagai lisensi
bagi para alumni untuk mengajarkan pengetahuan Islam di madrasah lain atau
mendirikan madrasah sendiri (Kusnan, 2017).
Usaha-usaha
yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman dalam pengembangan pendidikan Islam begitu
menarik dan efketif. Dia membawa konsep pendidikan dalam menunjang siswa
memperluas wawasan dan pengembangan potensi dan bakat siswa. selain itu cirinya
dia menerapkan kelasikal salafi (pesanten salafi dengan memakai sistem kelas.
D.
Kesimpulan
Pembaharuan
yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman mempunyai dampak yang luar biasa. Dengan
didirikannya madrasah oleh K.H. Mas Abdurahman tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan yang diajarkan oleh K.H. Mas Abdurahaman itu membawa manfaat bagi
masyarakat pribumi, khususnya bagi umat Islam. K.H. Mas Abdurahman mampu
memberantas kebodohan dan juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju
sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi individu yang siap
menjadi pemimpin dalam segala bidang.
Dalam
upaya pembaharuan pendidikan Islam (madrasah) Mathla’ul Anwar yang dilakukan
oleh K.H. Mas Abdurahman ialah membuat kurikulum pendidikan Islam secara
sistematis yang mata pelajaranya yaitu pelajaran keagamaan, Bahasa Indonesia,
Ilmu Alam, Sejarah Dunia, dan Ilmu Bumi atau Geografi, adanya sistem kelas
mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI, dan VII, serta membuat media
pembelajaran, dan program evaluasi pembelajaran.
Kondisi
pendidikan Islam lewat madrasah menjadi pendidikan Islam yang modern yang
dimiliki oleh Mathla’ul Anwar. Puncak dari usaha modernisasi yang sebenarnya
baru digagas secara sistematis dalam Muktamar Mathla’ul Anwar yang pertama pada
tahun 1936. Sebuah muktamar yang berusaha menatap masa depan Mathla’ul Anwar.
Banyak putusan-putusan yang mendorong terwujudnya suatu usaha sistematis untuk
menjadikan Mathla’ul Anwar menjadi sebuah institusi Islam yang modern.
Diantara
putusan terpenting dalam muktamar tersebut ialah dikembangkan status Mathla’ul
Anwar dari sebuah badan usaha pendidikan atau yang dikenal sekarang dengan nama
yayasan menjadi sebuah perhimpunan atau organisasi massa Islam yang menjadikan
asas pergerakannya pada Islam Ahlu Sunah Wal Jama’ah. Perkumpulan ini sudah
membuka cabang dari mulai tingkat Kabupaten hingga desa. Dengan lahirnya statuen
yang menegaskan bentuk organisasinya yang besar, Mathla’ul Anwar harus siap
dengan berbagai kosekuensi dinamika yang berpotensi muncul sepanjang perjalanan
gerakannya.
E.
Referensi
Abdurahman, K. M.
(2010). Terj. Dari Al-Jawaiz Fi Ahkamil Al-Janaiz oleh Maddais. PB
Mathla’ul Anwar Press.
Ali, M., Jihaduddin,
& Al-Fuadi, F. (2018). Mathal’ul Anwar dan Tantangan Modernitas.
Bhakti Banten Press.
Amin, M., & Rasmuin,
R. (2019). Dinamika kurikulum madrasah berbasis pesantren pada abad ke-20:
Analisis historis implementasi kurikulum madrasah. Tadbir: Jurnal Studi
Manajemen Pendidikan, 3(1), 1–16.
Hayati, N. R. (2018).
Kiprah Ormas Islam di Bidang Pendidikan. Al Ghazali, 1(1),
133–144.
Ilham, D. (2020). THE
CHALLENGE OF ISLAMIC EDUCATION AND HOW TO CHANGE. IJAE: International
Journal of Asian Education, 1(1), 15–20.
Jamaluddin, D.
(2013). Paradigma Pendidikan Akhlak dalam Islam. CV. Pustaka Setia.
Juarsih, C.
(2014). Pengembangan Kurikulum Dalam Implementasi Standar Proses
Pendidikan Siswa. PT Rinerka Cipta.
Junaedi, M., &
Wijaya, M. M. (2021). ISLAMIC EDUCATION DEVELOPMENT BASED ON UNITY OF SCIENCES
PARADIGM. Ulul Albab, 22(1), 292.
Kusnan, A. (2017). Implikasi
Gerakan Pembaharuan K.H. Mas Abdurahman. Tamaddun, 5(1),
51.
Ma’Shum, S.
(2019). Menapak Jejak Mengenal Watak-Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU.
Yayasan Saifudin Zuhri.
Mawardi, D., &
Supadi, S. (2018). Concentration on Learning Program Development in Islamic
Education. Al-Hayat: Journal of Islamic Education, 2(2),
222–239.
Mu’izzuddin, M., Juhji,
J., & Hasbullah, H. (2019). Implementasi metode sorogan dan bandungan dalam
meningkatkan kemampuan membaca kitab kuning. Geneologi PAI: Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 6(1), 43–50.
Muazza, M., Mukminin,
A., Habibi, A., Hidayat, M., & Abidin, A. (2018). Education in Indonesian
islamic boarding schools: Voices on curriculum and radicalism, teacher, and
facilities. Islamic Quarterly, 62(4), 507–536.
Nata, A. (2015). Sejarah
Pendidikan Islam Periode Klasik dan Pertengahan. PT Raja Grafindo Persada.
Nizar, S. (2007). Sejarah
Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group.
Ridhlo, S. (2019).
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. SCHOLASTICA: Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 1(1), 176–199.
Rosidin, D. N.
(2018). Membela Islam Mathla’ul Anwar: Di Tengah Arus Perubahan Agama,
Sosisla, Budaya dan Politik Di Indonesia. CV. Elsi Pro.
Subhan, A. (2009). Lembaga
Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20. UIN Press.
Sukardi. (2003). Evaluasi
Pendidikan Prinsip dan Oprasionalnya. Bumi Aksara.
Syalafiyah, N., &
Harianto, B. (2020). Pembaharuan Dakwah Pendidikan Islam di Sumatera
Barat. J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam, 1(1).
Syarjaya, E. S., &
Jihaduddin. (1996). Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khithah Mathla’ul
Anwar. Pengurus Besar Mathla‟ul Anwar.
Thoyyib, M. (2019).
Peran Ulama Abad Xix Dalam Mengembangkan Pesantren Di Indonesia: Studi Atas
Pemikiran Abdurrahman Mas’ ud Tentang Pendidikan Pesantren.". Al
Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 134–145.
A.
Pendahuluan
Pendidikan pada
hakekatnya adalah upaya mewariskan nilai-nilai yang akan menjadi penolong dan
pedoman umat manusia dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk meningkatkan
nasib dan peradaban umat manusia (Mawardi & Supadi, 2018). Tanpa pendidikan, diyakini
bahwa manusia tidak berbeda dengan generasi manusia masa lalu jika dibandingkan
dengan keterbelakangannya, baik kualitas hidupnya maupun proses merancang masa
depannya. Bahkan secara ekstrim, maju mundurnya atau buruknya peradaban suatu
masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dilakukan
oleh masyarakat bangsa tersebut (Junaedi & Wijaya, 2021).
Proyeksi
keberadaan dan realitas pendidikan, khususnya budaya Islam, memang tidak bisa
dilepaskan dari proses pendidikan masa lalu. Sekolah Islam pada masa awal
(zaman Nabi SAW), misalnya, tampak bahwa upaya pewarisan nilai diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu akidah sesat yang
dianut oleh kelompok Quraisy. Gagasan baru yang dibawa dalam pendidikan Nabi
untuk menginternalisasikan nilai-nilai keimanan, baik individu maupun kolektif,
untuk menghancurkan semua keyakinan jahiliyah yang ada saat itu dan dinilai
sangat menguntungkan karena lambat laun berbentuk kemusyrikan, dan menjadikan
tauhid sebagai ajaran moral landasan dalam kehidupan manusia (Ilham, 2020). Pendidikan yang berlangsung
dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan ini pun lebih berkaitan dengan
upaya-upaya dakwah Islamiyyah-penyebaran, penanaman dasar-dasar kepercayaan dan
Ibadah Islam.
Sehingga belum
terdapatnya perangkat pendidikan yang formal dan sistematis. Setelah itu
perkembangan-perkembangan berlanjut. Kemunculan madrasah pertama yang didirikan
oleh Wazir Nizham al-Mulk pada tahun 457-459/1065-1067 yaitu Madrasah Nizhamiyah.
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah yang pertama kali muncul dalam sejarah
Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang
dikelola pemerintah (Nizar, 2007), yang merupakan prototype awal
bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam
penyelenggaran pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan
Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama (Nata, 2015).
Perkembangan
pendidikan Islam tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Islam di Indonesia yang
masuk pada abad ke-9 mulai di kenalnya pendidikan pesantren. Pendidikan
pesantren pada umunya sama dengan model pendidikan ketika di zaman Rasulullah
Saw (Muazza et al., 2018). Pengajaran yang menggunakan
metode sorogan dan bandongan, serta hanya pelajaran agama Islam saja yang
diajarkan (Mu’izzuddin et al., 2019). Awal abad ke 20 merupakan titik
tolak transformasi Islam di Indonesia. Berbagai perubahan dan pembaharuan baik
sosial, ekonomi, budaya, politik hingga agama yang muncul secara massif seperti
jamur di musim hujan. Inilah yang sering kali disebut puncak modernisasi Islam.
(Amin & Rasmuin, 2019).
Namun demikian, proses
ini bukanlah datang begitu saja tetapi setelah melalui berbagai proses yang
pastinya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya intensifnya hubungan
Nusantara dengan Timur Tengah melalui peranan haji dan pelajar yang melakukan
studi lanjutan, serta munculnya teknologi percetakan yang memungkinkan
tersebarnya ide-ide baru dengan lebih cepat. Dalam kurun waktu tersebut,
transmisi pengetahuan Islam dan juga transformasi masyarakat Islam di Indonesia
khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya hingga abad ke 19 dan 20 tidak lepas
dari peran para pelajar yang pulang dari Hijaz (Ridhlo, 2019). Melalui mereka, pemahaman
ajaran Islam beserta teks-teks dan lembaga pendidikan Islam dalam bentuknya
muncul dan berkembang di Nusantara.
Para haji yang
baru pulang secara mandiri maupun kelompok berinisiatif mendirikan berbagai
organisasi persyarikatan Islam modern. Seperti pada tahun 1905, masyarakat Arab
yang tinggal di Jakarta yang melihat bidang pendidikan sebagai lahan paling
menjanjikan dalam melakukan reformasi kaum Muslim mendirikan sebuah organisasi
bernama Jami‟atul Khair. Sebagai langkah pertama, organisasi ini membuka
Sekolah Dasar, di antara mata pelajarannya adalah aritmatika, geografi, sejarah
Islam bahkan bahasa Inggris dan Bahasa Melayu digunakan sebagai Bahasa pengantar.
Sekolah ini menerima siswa yang berasal baik anak-anak keturunan Arab maupun
non-Arab (Hayati, 2018).
Dalam suasana
yang bergelora itulah K.H Mas Abdurrahman turut hadir di panggung sejarah
Indonesia dengan menyumbangkan tenaga, pemikiran serta jiwanya. Ia dilahirkan
di Kampung Janaka Desa Ciput, Kecamatan Labuhan Kabupaten Pandeglang (sekarang
Masuk Propinsi Banten) pada tahun 1875. Pada tahun
1916 K.H. Mas Abdurahman memprakarsai berdirinya sebuah lembaga pendidikan
Islam yang nantinya berkembang menjadi organisasi social keagamaan, yang diberi
nama Mathla’ul Anwar dengan dukungan Kiai Haji Sholeh Kenanga, Kiai Haji Entol Muhamad
Yasin dan lain-lain (Thoyyib, 2019).
Mathla’ul
Anwar adalah lembaga pendidikan yang dibangun oleh K.H. Mas Abdurahman dengan
visual sistem modernis dan tradisionalis, dengan membuka kelas A, B, I, II,
III, IV, V, VI, VII. Tingkat pendidikan yang dibuka dalam Sembilan tahun itu
untuk tingkat ibtidaiyah dan tingkatan lanjutan pertama atau tsanawiyah (Ali et al., 2018). Keinginan K.H. Mas
Abdurahman dalam menciptakan pembaharuan di atas, diharapkan dapat membentuk
masyarakat Indonesia yang mempunyai peradaban yang lebih maju, karena apabila
masyarakat mempunyai peradaban yang lebih maju maka akan menjadikan Negara dan
Bangsa ini menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Kiprah atau derap
kegiatan pendidikan Islam oleh K.H. Mas Abdurahman begitu banyak. Keinginannya dalam
mewujudkan masyarakat menjadi lebih baik begitu kuat.
B.
Biografi KH. Mas
Abdurrahman
KH. Mas
Abdurrahman merupakan nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia
dilahirkan di Kampung Janaka, salah satu dusun kecil dan sejuk berada di kaki
bukit Haseupan Desa Ciput Kecamatan Labuhan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten pada tahun 1875 (Ma’Shum, 2019). Ia merupakan anak dari seorang
kiyai di Janaka KH. Mas Jamal yang mengasuh sebuah pesantren kecil di sana.
Nasabnya bersambung ke Ki Mas Jong (Ali et al., 2018). Sebagaimana diakaui dalam
legenda Banten tergolong orang yang pertama kali memeluk Islam dan menjadi
pengikut setia Sultan Maulana Hasanudin. Gelar Mas merupakan gelar kehormatan
yang diberikan secara turun menurun dan berasal dari nama seorang Senopati
Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan kanan raja
Pajajaran bernama Pucuk Umum (Rosidin, 2018).
Kiayi Mas Jamal,
ayahanda K.H. Mas Abdurahman, bukan termasuk orang yang mampu dalam hal
ekonomi. Tetapi karena keinginannya yang kuat untuk menunaikan ibadah haji.
Pada tahun 1903, Mas Jamal yang sedang melaksanakan haji di Mekkah meninggal
dunia. Setelah mukim selama sepuluh tahun di Mekkah, Mas Abdurrahman kembali ke
Menes pada tahun 1910. Kepulangannya ini tidak lepas dari permintaan khusus
dari salah seorang ulama Banten yang mempunyai kharismatik tinggi dan dikenal
sebagai faqih (ahli hukum Islam) yakni Kiai Haji Muhamad Tubagus Sholeh yang
nantinya menikahkan Mas Abdurrahman dengan salah seorang putrinya bernama Nyai
Enong. Akan tetapi pernikahan ini tak berlangsung lama karena istrinya
meninggal dunia pada saat menjalankan ibadah haji di Mekkah (Thoyyib, 2019).
Setelah itu, Mas
Abdurrahman menikah tiga kali secara berurutan antara lain dengan Ibu Menot
Aminah
binti Haji Ali dari Soreang Menes, Ibu Ijot Khodijah binti Kiyai Samin berasal
dari Soreang Menes, dan Ibu Enjoh binti Haji Safik berasal dari Langensari,
Pandeglang. Dari
ketiga istri itu ia memiliki lima belas anak: Emed, Muhammad Habri, Hamid,
Enong, Eno, Adung Abdurahman, Mariah, Bayi, Khalid, Muslim, Muslimah, Muhammad
Nahid, Zahriah, Zahra, dan Munjiah. Ketika K.H. Mas Abdurahman memiliki anak,
ia pun mengajari anak-anaknya dasar-dasar ilmu agama Islam dan setelah itu menitipkan
mereka di pesantren lain dengan tujuan mendapatkan pengalaman apa yang ia
dapatkan ketika ia seusia anaknya, lebih khususnya pengalaman pesantren. Untuk
memenuhi biaya rumah tangga, K.H. Mas Abdurahman bertani seperti menanam pohon
karet, kelapa, tanaman darat, menanam padi di sawah serta berjualan kitab-kitab
hasil karangannya sendiri atau karangan orang lain yang dipergunakan untuk
madrasah dan lain sebagainya.
Sejarah kemudian
mencatat bahwa anak-anak Mas Abdurahman akan memainkan peran yang lebih besar
di Mathla‟ul Anwar. Anak yang bernama Muslim diangkat sebagai ketua umum Pengurus
Pusat Mathla‟ul Anwar Pusat sejak 1973-1974. Sementara itu Kholid dan Nahid
masing-masing menepati jabatan ketua Perguruan Pusat di Menes dari 1974 sampai
1977 dan 1985 sampai 1986. Jika ayahnya mengambil peran sebelum kemerdekaan,
maka kekuasaan kepemimpinan mereka menonjol setelah kemerdekaan. Ini merupakan
perngaruh sosok dari seorang ayahnya K.H. MasAbdurahman. K.H Mas Abdurahman
wafat sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1942 (Rosidin, 2018).
K.H. Mas
Abdurahman sudah tidak asing lagi di mata masyarakat Menes Banten, kepercayaan
ini datang ketika ia mempunyai kekuatan luar biasa serta ketinggian ilmu yang
telah dipelajarinya baik itu di Nusantara maupun di Mekkah. Di Mekkah ia pernah
belajar pada Kiai Nawawi Al-Bantani yang merupakan ulama terkenal yang
mempunyai banyak murid, baik itu yang berasal dari Indonesia atau dari negara
Islam lainnya yang mempunyai majelis di Masjidil Haram Mekkah bahkan K.H. Mas
Abdurahman pernah dijadikan badal mengajar oleh Kiai Nawawi Al Bantani
sehingga membuat ia dikenal luas oleh para pelajar terutama yang berasal dari
Banten.
Sosok Ayah dari K.H.
Mas Abdurahman yang merupakan salah seorang kiai yang dihargai di daerahnya
namanya yakni Kiai Mas Jamal. Walaupun tinggal di sebuah dusun terpencil yang
sukar dijangkau namun ia memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap
masa depan putranya. Ia berfalsafah “bahwa ia tidak ingin meninggal dunia
sebelum putranya berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai”.
9 Atas dasar falasafah tersebut K.H. Mas Abdurahman mendapat pendidikan agama
secara baik sejak masa kanak-kanak dari lingkungannya sendiri yakni dari
ayahnya, yang mempunyai cita-citayang tinggi karena ingin Mas Abdurahman
menjadi alim ulama dan meneruskan pembelajarannya sampai ke Mekkah. Setelah
menginjak usia remaja ia dikirim untuk melanjutkan studinya ke berbagai
pesantren di Jawa Barat di antaranya kepada Kiai Sohib pemilik Pondok Pesantren
Kedung Pinang, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia juga belajar mengaji kepada
Kiai Ma‟mun yang terkenal dengan Bacaan Al-Qur‟annya (Qiraah).
Meninggalnya
Ayahnya K.H. Mas Abdurhaman di Mekkah ada keinginan untuk mencari makam ayahnya
itu. Kesempatanya untuk ke Mekkah ada saat K.H. Mas Abdurahman pada tahun 1905
akan menunaikan ibadah haji. Dengan bekal hanya cukup untuk ongkos pergi, K.H.
Mas Abdurahman pun berangkat ke tanah suci. Disamping menunaikan utuk bermukim
guna menuntut ilmu agama sekaligus berziarah ke makam ayahandanya walaupun
tidak jelas kuburannya. Semua hambatan dan
rintangan, baik uang saku yang terbatas maupun kondisi alam di Makkah yang
berbeda dengan Indonesia berhasil ia atasi. Karena uang saku yang minim, selama
tinggal di Mekkah ia memilih untuk tidur maupun belajar di dalam Masjidil Haram.
Kendati hidup pas-pasan, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat K.H. Mas
Abdurahman untuk menimba ilmu. Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh
perhatian dan ketekunan walaupun sarana serta peralatan menulis tidak lengkap.
Karenanya, ia lebih banyak mengendalikan pendengarannya. Dengan sistem hafalan,
ia berhasil menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya, khusunya dalam bidang
agama seperti ilmu bahasa Arab, fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, balaghah,
tafsir, dan tasawuf.
Seluruh pelajaran
diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walau sarana serta peralatan
menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya
dalam menyerap ilmu pengetahuan khususnya di bidang agama sangat mendalam, di
antaranya ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Dengan
keberhasilannya tersebut, K.H. Mas Abdurahman direncanakan akan diangkat
menjadi badal (Asisten Dosen) pengajian di Mesjidil Haram, tetapi hal
ini tidak berlanjut, karena adanya permohonan dari para Ulama/Kiai Menes,
Banten agar ia segera kembali ke tanah air. Salah satu pertimbangan pokok,
kenapa K.H. Mas Abdurahman menerima tawaran itu adalah karena ia ingin mengembangkan
system pendidikan Islam di daerah Menes. Tapi rencana ini tidak segera
dilotarkan ke masyarakat. Ia terlebih dahulu harus menyelesaikan berbagai
problem sosial yang ada di masyarakat Menes (Ma’Shum, 2019).
K.H. Mas
Abdurrahman adalah tokoh yang memiliki banyak karya melalui sejumlah tulisan
yang disusun. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis beberapa buku tentang
berbagai masalah keagamaan, di antaranya yaitu AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz
tentang tata cara pemakaman jenazah menurut Islam, Ilm al-Tajwid
tentang aturan baca AlQuran, Al-Takhfif tentang tata Bahasa Arab, Miftah
Bab al-Salam tentang hukum Islam, dan Fi Arkan al-Iman wa al-Islam
tentang teologi. Semua buku ini ditulis dalam tulisan Melayu Arab (Jawi),
dengan bahasa Sunda sebagai mediumnya. Semua buku ini dipersiapkan sebagai
rujukan utama untuk studi-studi agama di Madrasah Mathla‟ul Anwar. Dari
sekian banyak karya K.H. Mas Abdurahman, buku AlJawa‟iz fi Ahkam al-Jana‟iz
merupakan karya yang fenomenal karena buku tersebut sampai hari ini masih
banyak dibaca, dan menjadi buku rujukan dalam pembelajaran di Mathla‟ul Anwar.
Buku ini tidak saja diperuntukan untuk para siswa namun dipakai juga untuk masyarakat
umum.
Setelah beberapa
lama menderita sakit dan masih ditakdirkan Allah untuk dapat mengambil air
wudhu dan sholat walaupun dengan berbaring, akhirnya pada hari Rabu tanggal 27
Sya’ban 1363 H bertepatan dengan 16 Agustus 1944 dengan disaksikan oleh
sebagian istri an anak-anaknya, K.H. Mas Abdurahman pulang ke Rahmatullah untuk
selama-lamanya. Beribu-ribu umat Islam hadir serta pejabat Pemerintah Jajahan
Jepang dari Kabupaten Pandeglang dan Banten hadir untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada K.H. Mas Abdurahman yang dilakukan di daerah Cikaliung Sodong (Thoyyib, 2019).
C.
Pemikiran
tentang Pendidikan Islam dan Kontribusinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam
Pemikiran
mengenai pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Mas Abdurrahman ternyata
sangat berkontribusi dalam pengembangan pendidikan Islam yakni salah satunya
terhadap para alumni madrasah yang ia dirikan dimana para siswa yang pernah
belajar pada sang guru memberikan dampak yang positif terhadap kampong halaman
mereka, disamping itu banyak santri yang mendirikan madrasah cabang di
daerahnya masing-masing yang menginduk pada madrasah pusat. Berikut ini
merupakan beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Islam KH. Mas
Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam dalam masyarakat luas:
Modernisasi
dalam bidang pendidikan setidaknya meliputi 4 unsur diantaranya: system
pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Di
bidang pendidikan KH. Mas Abdurrahman melakukan beberapa kontribusi
diantaranya:
1.
Pengelolaan
Sistem Madrasah Putra-Putri
Sebelum
berdirinya madrasah Mathla’ul Anwar, Banten telah mengenal dua macam system
pendidikan Islam yakni langgar dan pesantren. Salah satu yang menjadi dorongan
utama dibalik pendirian madrasah Mathla’ul Anwar adalah modernisasi yang
dilakukan dengan bertujuan menyempurkan dan bukan menggantikan. Langkah pertama
yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mendirikan sebuah
madrasah berdasarkan system kelas dengan maksud menerapkann system pendidikan
dengan menggunakan standar kurikulum yang baku dan jelas (Syarjaya & Jihaduddin, 1996). Gagasan modernisasi pendidikan
Islam telah tersebar luas di Nusantara ketika itu. Sejak tahun 1909 sejumlah
sekolah Islam telah mengadopsi sistem kelas seperti Madrasah Adabiyah dan
Sumatra Thawalib di Sumatra Barat (Syalafiyah & Harianto, 2020).
Dalam
perkembanganya intitusi madrasah semakin beragam pembelajarannya, disamping
Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber utama doktrin Islam, muncul berbagai
jenis ilmu lain. Sebagian merupakan ilmu-ilmu yang dimaksudkan sebagai alat bantu
memahami Al-Qur’an seperti tata bahasa, sebagian lain merupakan hasil
penafsiran atas Quran seperti Fiqh (Subhan, 2009). Modernisasi system pendidikan
Islam di Mekkah konon juga memberi kesan yang mendalam pada diri Mas Abdurrahman
sehingga kemudian ia merintis gerakan modernisasi madrasah di Mathla’ul Anwar
pada tahun-tahun sesudahnya.
Mathla‟ul
Anwar membuka madrasah secara resmi pada tanggal 9 Agustus 1916 M yang
bertepatan dengan 10 Syawal 1334 H. Selaku mudir, K.H.Mas Abdurahman
memanfaatkan fasilitas yang seadanya setelah Kiyai Mustagfiri salah seorang
pendiri Mathla‟ul Anwar memberikan rumahnya sebagai ruang kelas sementara.
Untuk memulai itu semua, ia menyusun kurikulumnya, melakukan rekruitmen guru
sekaligus bertindak sebagai pengendali mutu seluruh kegiatan proses belajar mengajar.
Setelah berjalan selama beberapa bulan, madrasah mendapatkan sambutan positif
dari masyarakat baik dalam bentuk kepercayaan maupun bantuan lainnya. Para
penduduk sekitar mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar. Banyak murid yang belajar
di Mathla’ul Anwar telah berhasil meyakinkan orang kaya setempat, seperti
bernama Ki Demang Entol Jasudin untuk mewakafkan tanahnya kepada
madrasah (Rosidin, 2018).
Dengan
bantuan dan dukungan dana dari masyarakat sekitar itulah Mathla’ul Anwar
akhirnya mampu mendirikan bangunan madrasah yang pertama dan menjadi pusat
kegiatan pendidikan Islam hingga sekarang. ndirikan madrasah khusus putri.
Namun bangunan madrasah tersebut terpaksa dipisahkan dari madrasah utama yang
dikhususkan untuk laki-laki. Pendirian madrasah putri menunjukan bahwa Mathla’ul Anwar mempunyai pandangan yang lebih maju dan tegas
tentang kedudukan wanita dibandingkan dengan pemahaman yang berkembang di
masyarakat saat itu yang masih mengganggap tugas wanita tidak lebih dari
bertugas di dapur dan melayani suami serta mengurus anak dan kehidupan sehari-hari
saja. Dengan adanya Madrasah Putri Mathla’ul Anwar posisi wanita dalam
penguasaan ilmu memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Banyaknya
pemimpin yang menolak gagasan penyatuan menjadi alasan pemisahan tersebut.
Untuk mengelola madrasah ini, Mathla’ul Anwar mengangkat Hajjah Siti Zainab,
putri Entol Mohammad Yasin sekaligus menantu Tubagus Mohammad Sholeh sebagai
direktur. Mathla’ul Anwar juga kemudian mengangkat Nyi Kulsum dan Nyi Afiyah
sebagai guru sekaligus membantu tugas direktur. Di bawah kepemimpinan mereka,
madrasah putri kemudian dapat berkembang dengan pesat dimana memiliki ratusan
siswi yang ikut belajar di dalamnya. (Jamaluddin, 2013)
Pada
tahun 1938 Mathla’ul Anwar menerbitkan aturan tentang sistem persekolahan baru
dengan urutan sebagai berikut Madrasah Awwaliyyah atau pra-sekolah dasar (dua
tahun), Madrasah Ibtidaiyah (enam tahun), Madrasah Tsanawiyah (tiga tahun), dan
Madrasah Muallimin Wustha (dua tahun), dan Madrasah Muallimin ‘Ulya yang setara
dengan tingkat universitas (tiga tahun). Para siswa yang ingin menamatkan pendidikan
mereka di madrasah-madrasah ini harus menempuhnya selama enam belas tahun.
Kembali ke madrasah untuk murid laki-laki, di tahun-tahun awal
berjalannya madrasah ini, K.H. Mas Abdurahman mengajar di madrasah. Pada saat
yang sama, juga bertugas merekrut guru-guru dari kalangan kiai muda di Menes seiring
dengan bertambahnya kelas. Di antara yang direkrut adalah Kiai Hamdani, Kiai
Abdul Latif dan lain-lain. Pada akhir 1920an, ada sembilan guru yang mengawasi
sembilan kelas. Setelah dirasa cukup memadai, Mas Abdurrahman mengundurkan diri
dari kegiatan mengajar dan memutuskan untuk memusatkan perhatian pada
tugas-tugasnya sebagai mudir urusan pendidikan.
Pada tahun pertama pendirian madrasah siswa-siswanya ia datangkan
dari sekitar Menes. Kebanyakan dari mereka adalah santri-santri seperti santri
dari pesantrennya Kiai Haji Muhamad Soleh dari Kananga, santri dari pesantren
Kiai Haji Arsyad dari Tegal dan tempat-tempat lainnya. Selain itu ternyata
sambutan masyarakat untuk memasukan anaknya ke madrasah yang didirikan oleh
K.H. Mas Abdurahman sangat menggembirakan sehingga untuk tahun kedua tidak
tertampung lagi tempat belajarnya (Ali et al., 2018).
2.
Penerapan Sistem
Klassikal
Visi
muda yang dimiliki oleh K.H. Mas Abdurahman sangat begitu visoner. Keinginannya
dalam mentransformasi pendidikan Islam begitu kuat. Dengan dasar ingin merubah
kondisi masyarakat yang mengalami keterbelakangan. Dia membawa pendidikan Islam
sebagai upaya mencerdaskan dan merubah masyarakat. Masyarakat iajak untuk
belajar di lembaga pendidikan Islam yang dinamakan madrasah Mathla‟ul Anwar.
Oleh karena itu, penyelenggaraan program pendidikan yang dilaksanakan di
Mathla‟ul Anwar ialah dengan menggabungkan sistem madrasah dengan sistem
pesantren. Penggabungan dua sistem ini dianggap penting karena tujuan utama
pendidikan Mathla’ul Anwar ketika itu ialah untuk menghasilkan calon-calon
da’i profesional yang luas wawasan keilmuannya dan mulia akhlaknya.
Penggabungan
sistem ini dianggap cukup tepat mengingat bahwa tujuan pendidikan agama tidak hanya
terletak pada segi pengetahuan semata tetapi juga meliputi aspek penghayatan, pengamalan
dan pembiasaan ibadah serta kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Pada awalnya para
siswa atau santri mengalami kesulitan mengikuti sistem ini, karena mereka
sebelumnya terbiasa dengan kultur dan sistem pesantren yang lebih longgar dalam
disisplin dan jadwal waktu belajar. Para santri biasanya mengikuti proses belajar
pola sorogan atau bandongan dengan gaya santai dan bebas, adakalanya santri
mengikuti pengajaran dengan duduk bersila, dengan meluruskan kaki ke depan, duduk
dengan bertumpu pada satu kaki dan kaki yang lain dilipat ke atas. Namun,
biasanya kiai memakluminya karena cara ini biasanya dilakukan oleh santri yang
mubtadiin.
Di
pesantren sistem yang digunakan adalah sistem tutorial dengan cara
bandongan atau sorogan. Cara bandongan
adalah sekelompok santri antara lima sampai lima ratus orang mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan dan sering kali mengulas
buku-buku Islam berbahasa Arab. Sedangkan cara sorogan ialah seorang murid menghadap
guru untuk membacakan dan menerjemahkan
sebuah buku Islam dalam bahasa arab, kemudian san guru mendengarkan sekaligus melakukan
koreksi bahkan terkadang diselingi dengan ulasan yang singkat (Mu’izzuddin et al., 2019).
Namun Madrasah Mathla’ul Anwar menerapkan sistem klasikal. Dari tahun 1916 hingga 1920, Mathla‟ul Anwar menjalankan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, B, dan I yang masing-masing berlangsung selama setahun pelajaran. Pada tahun 1920, Mathla‟ul Anwar memperluas jumlah kelasnya menjadi tujuh kelas untuk setiap satu tahun angkatan yang terdiri dari kelas A, B, I, II, III, IV, V. Pada tahun 1927, Entol Junaedi, putra K.H. Muhamad Entol Yasin dan baru saja pulang dari belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, mengusulkan perluasan lagi jumlah kelas. Gagasan ini diterima dan dijalankan pada tahun itu juga. Hasilnya, Mathla’ul Anwar mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran mulai dari A, B, I hingga VII. Pola sembilan kelas ini berlanjut hingga tahun 1950 ketika sistem ini dirubah untuk disesuaikan dengan sistem pendidikan nasional yang merupakan hasil reformasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia merdeka (Ali et al., 2018).
3. Pembaharuan Kurikulum
Dalam bidang pendidikan kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Pada kenyataannya, sebagian pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu (Juarsih, 2014). Di pesantren, kurikulum yang digunakan adalah disesuaikan dengan kemampuan kiai, jika kiai mahir di bidang aqidah maka kurikulum yang diajarkan adalah kitab atau mata pelajaran yang berkaitan dengan bidang aqidah. Namun K.H. Mas Abdurahman melakukan pembaharuan dengan memasukan mata pelajaran umum seperti berhitung, membaca, bahasa Inggris, dan ilmu alam (Kusnan, 2017).
Pada masa
kepemimpinan K.H. Mas Abdurahman sebagai mudir urusan pendidikan, K.H. Mas
Abdurrahman memiliki kekuasaan penuh untuk menyusun kurikulum bagi madrasah. Kurikulum
yang dilaksanakan dimadrasah Mathla’ul Anwar umumnya adalah pengajaran kitab-kitab
agama (Kitab Kuning) dan kitab-kitab lain yang bersifat penunjang. Ia
menetapkan bacaan yang akan dipelajari dan diawasi secara langsung. Selain itu,
ia menyusun beberapa buku untuk digunakan di madrasah, seperti ‘Ilm
al-Tajwid, Nahwu alJamaliyyah, ‘Ilm al-Bayan dan kitab-kitab kecil lainnya
yang telah disebutkan sebelumnya. Kurikulum
yang ia susun juga memasukkan unsur keterampilan seperti pelatihan dakwah dalam
bentuk muqabalah (layanan masyarakat) dengan pengiriman murid dari kelas
enam hingga delapan untuk berdakwah secara langsung kepada masyarakat
didesa-desa sekitar. Pelatihan ini dilaksanakan setiap Kamis.
Proses
belajar mengajar madrasah Mathla‟ul Anwar dimulai pada pukul delapan pagi
sampai pukul dua belas siang dengan waktu istirahat sekali selama kurang lebih
setengah jam. Waktu libur yang dijadwalkan ialah hari Kamis dan Jum’at. Pada
hari Kamis diadakan kursus atau pengajian untuk menambah ilmu pengetahuan bagi
dewan guru yang diberikan oleh K.H. Mas Abdurahman yang bertempat di mesjid
Soreang (Kusnan, 2017).
Pada
akhir tahun 1930an, Mathla‟ul Anwar menambah beberapa mata pelajaran umum dalam
kurikulumnya seperti bahasa Indonesia, sejarah dunia, geografi dan beberapa
ilmu alam. Masuknya mata pelajaran umum dalam kurikulum lembaga pendidikan
Islam bukanlah hal baru, karena sejumlah sekolah modern Islam telah
mengadopsinya sejak decade kedua abad kedua puluh seperti Muhammadiyah,
Al-Jami’ah alIslamiyah dan Sekolah Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Sejak
itu, kebanyakan madrasah di Nusantara memasukkan mata pelajaran umum dalam
kurikulum mereka, meskipun berbeda-beda presentasenya dibandingkan dengan
pelajaran agama (Ali et al., 2018).
a.
Sistem Kelas
Tahun 1916 K.H Mas
Abdurahman membuka madrasah dengan menjalankan aktivitas pendidikan dengan
menggunakan tiga kelas yang terdiri dari kelas A, kelas B, dan Kelas I. masing-masing
berlangsung selama setahun pelajaran. Ini menjadi modal K.H. Mas Abdurahman
dalam mengembangkan pendidikan berjengjang.
Setelah
murid-murid K.H. Mas Abdurahman lulus dari madrasah Mathla‟ul Anwar kemudian
diantaranya ada yang melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Kairo yaitu Entol
Junaedi putra Entol Moh Yassin. Setelah Entol Junaedi kembali ke Indonesia pada
tahun 1927 dia mengusulakan perluasan lagi jumlah kelas. Kemudian gagasan ini
diterima dan disetuji oleh K.H. Mas Abdurahman. Sehingga madrasah Mathla’ul
Anwar mulai membuka sembilan kelas untuk setiap satu tahun pelajaran, dimulai
dari kelas A, kelas B, kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas
VI dan kelas VII (Rosidin, 2018).
Kemudian setelah
terbentuknya sistem kelas dengan sembilan tingkatan dilakukan penyeragaman dari
tiap-tiap cabang madrasah yang dilakukan oleh direktur (mudir) K.H. Mas
Abdurahman guna menjaga kualitas hasil didikan yaitu, bahwa seluruh cabang
Mathla‟ul Anwar hanya mendapat izin untuk membuka sampai kelas IV. Untuk
menyelesaikan pendidikan sampai kelas VII para lulusan madrasah cabang harus
menyelesaikannya di Mathla’ul Anwar pusat di Menes (Ali et al., 2018).
b.
Bahan Ajar
1)
Tarjamah Jamillah atas Matan
Ajurumiyah. Tarjamah Jamilah atas Matan Ajurumiyah telah jelas dari judulnya,
buku ini merupakan terjemahan kitab tipis matan jurumiyah, yang membahas
tentang ilmu nahwu dan tata bahasa Arab.
2)
Aljawaiz fi Ahkam al-Janaiz. Kitab
Aljawaiz fi Ahkam Aljanaiz adalah sebuah kitab elementer berbahasa Sunda dengan
huruf pegon (Arab), yang secara komprehensif membahas seluk beluk hukum
mengurus jenazah yang benar dan sesuai dengan paham ajaran Islam Ahlussunnah
waljama’ah (Abdurahman, 2010).
3)
Al-Musamma bi al-Takhfif fi ‘ilm
al-Tashrif. Melengkapi terjemahan Jurumiyah, K.H. Mas Abdurahman juga menulis
sebuah kitab kecil dalam bidang sharaf, yakni gramatika bahasa Arab. Kitab
tipis ini merupakan usahanya untuk melengkapi bahan ajar bagi penguasaan bahasa
Arab di lingkungan Mathla‟ul Anwar. Secara fisik buku ini berukuran 20x12 cm, dengan
tebal 38 halaman dan masing-masing halaman berjumlah 18 baris. Sesuai
keterangan di akhir buku, naskah ini selesai ditulisnya pada hari Senin 9
Ramadhan 1371 H (tanggal ini jelas perlu diverifikasi ulang, karena tahunya
yang hampir pasti tidak tepat atau mungkin lebih merupakan tahun penulisan
ulang yang dilakukan penerbitnya).
4)
Mandzumat fi Bayani Asbab
al-Hifdzi wa al-Ghina. Naskah ini merupakan hal yang unik dan satu-satunya yang
ditulis dalam bentuk nadzam dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga
bahasa sekaligus: Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara
bergantian. Uniknya lagi, nadzam atau syair dalam ketiga bahasa yang dipakainya
memiliki tingkat kualitas sama baiknya.
5)
Kumpulan lima Khutbah. Buku atau
kitab tipis ini berukuran saku ini (setebal 36 halaman) berisi tentang lima
khutbah, yakni Idul Fitri (1-12), Idul Adha (12-19), Khutbah Jum‟at (20-27),
Khutbah Nikah (27-31), dan Talqin Mayyit (32-36). Dalam penelusuran naskah di
lapangan, penulis mendapatkan 3 (tiga) versi penerbit, yakni dalam bentuk
tulisan tangan, cetak batu, dan cimputized. Ini mengindikasikan, sebagaiman
peran informan mengatakan, bahwa buku kumpulan lima khutbah ini merupakan buku
penting dan digunakan oleh masyarakat berbagai kalangan dan dijadikan bahan
rujukan khutbah diberbagai tempat.
6) Dua Risalah Miftah Bab al-Islam fi Arkhan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al - ‘Athsyan. Buku berukuran sedikit lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang ruku Islam dan rukun iman serta tentang cara membaca Al-Qur‟an (tajwid). Naskah pertama berjudul Miftah Bab As-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat Al„Athsyan fi Tajwid al-Quran (hal 16-43).
c.
Media Belajar
Madrasah dalam
menjalankan kegiatan belajar mengajar (KBM) menggunakan perlengkapan yang
modern pada waktu itu, seperti menggunakan papan tulis, bangku, dan meja,
meskipun belum mewajibkan pakaian seragam waktu itu, karena para siswa di
pesantren pada umumnya terbiasa memakai sarung. Dalam sumber buku, para siswa
mulanya merasa tidak merasa nyaman karena mereka tidak pernah menggunakan
alat-alat seperti ini untuk belajar di pesantren (Rosidin, 2018).
4.
Evaluasi
Pembelajaran
Aspek
penting lain dalam teknologi pengajaran adalah evaluasi atau penilaian dalam
pengajaran tidak semata-mata dilakukan terhadap hasil belajar, tetapi juga
harus dilakukan terhadap proses pengajaran itu sendiri. Evaluasi harus
dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para
siswa yang dievaluasi. Dengan evaluasi tersebut dapat dilakukan revisi program
pengajaran dan strategi pelaksanaan pengajaran. Dengan kata lain, ia dapat
berfungsi sebagai umpan balik dan remedial pengajaran (Sukardi, 2003).
Di
pesantren, tidak ada evaluasi dalam mengukur sejauh mana santri dalam mengikuti
pembelajaran, serta santri kebanyakan lama sekali dalam mengikuti pembelajaran,
oleh sebab itu K.H. Mas Abdurahman mengadakan evaluasi terhadap hasil
pembelajaran melalui ujian yang dilakukan pada akhir setiap tahun akademik
(haul), siswa madrasah Mathla’ul Anwar akan mengikuti ujian akhir.
Mereka
yang lulus ujian akan naik ke kelas berikutnya. Sementara bagi yang gagal,
mereka harus mengulang kelas yang sama selama setahun lagi. Madrasah juga
memiliki aturan program akselerasi dengan mengizinkan siswa unggul untuk
melewati satu atau dua kelas. K.H. Mas Abdurahman beserta beberapa guru senior
yang ditunjuk secara langsung menyelenggarakan ujian tersebut. K.H. Mas Abdurahman
bahkan bertindak sebagai penguji. Menurut beberapa mantan muridnya, ujian
berlangsung dengan sangat ketat. Sementara dari sisi waktu pelaksanaanya, ujian
akhir tersebut biasanya diadakan pada bulan Safar dan Rabiul Awwal.
Setelah
ujian selesai, ada acara tahunan (Ihtifalan) untuk menandai berakhirnya tahun
ajaran tersebut. Acara ini biasanyadiselenggarakan pada tanggal 20 Rabi’ul
Tsani. Dalam acara ini, mereka yang menamatkan pelajaran merayakan kelulusan
dan pada saat itu pula Mathla’ul Anwar memberikan ijazah bagi mereka yang telah
menamatkan Sembilan tahun masa belajar. Ijazah ini dipandang sebagai lisensi
bagi para alumni untuk mengajarkan pengetahuan Islam di madrasah lain atau
mendirikan madrasah sendiri (Kusnan, 2017).
Usaha-usaha yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman dalam pengembangan pendidikan Islam begitu menarik dan efketif. Dia membawa konsep pendidikan dalam menunjang siswa memperluas wawasan dan pengembangan potensi dan bakat siswa. selain itu cirinya dia menerapkan kelasikal salafi (pesanten salafi dengan memakai sistem kelas.
D.
Kesimpulan
Pembaharuan
yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman mempunyai dampak yang luar biasa. Dengan
didirikannya madrasah oleh K.H. Mas Abdurahman tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan yang diajarkan oleh K.H. Mas Abdurahaman itu membawa manfaat bagi
masyarakat pribumi, khususnya bagi umat Islam. K.H. Mas Abdurahman mampu
memberantas kebodohan dan juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju
sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi individu yang siap
menjadi pemimpin dalam segala bidang.
Dalam
upaya pembaharuan pendidikan Islam (madrasah) Mathla’ul Anwar yang dilakukan
oleh K.H. Mas Abdurahman ialah membuat kurikulum pendidikan Islam secara
sistematis yang mata pelajaranya yaitu pelajaran keagamaan, Bahasa Indonesia,
Ilmu Alam, Sejarah Dunia, dan Ilmu Bumi atau Geografi, adanya sistem kelas
mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI, dan VII, serta membuat media
pembelajaran, dan program evaluasi pembelajaran.
Kondisi
pendidikan Islam lewat madrasah menjadi pendidikan Islam yang modern yang
dimiliki oleh Mathla’ul Anwar. Puncak dari usaha modernisasi yang sebenarnya
baru digagas secara sistematis dalam Muktamar Mathla’ul Anwar yang pertama pada
tahun 1936. Sebuah muktamar yang berusaha menatap masa depan Mathla’ul Anwar.
Banyak putusan-putusan yang mendorong terwujudnya suatu usaha sistematis untuk
menjadikan Mathla’ul Anwar menjadi sebuah institusi Islam yang modern.
Diantara
putusan terpenting dalam muktamar tersebut ialah dikembangkan status Mathla’ul
Anwar dari sebuah badan usaha pendidikan atau yang dikenal sekarang dengan nama
yayasan menjadi sebuah perhimpunan atau organisasi massa Islam yang menjadikan
asas pergerakannya pada Islam Ahlu Sunah Wal Jama’ah. Perkumpulan ini sudah
membuka cabang dari mulai tingkat Kabupaten hingga desa. Dengan lahirnya statuen
yang menegaskan bentuk organisasinya yang besar, Mathla’ul Anwar harus siap
dengan berbagai kosekuensi dinamika yang berpotensi muncul sepanjang perjalanan
gerakannya.
E.
Referensi
Abdurahman, K. M.
(2010). Terj. Dari Al-Jawaiz Fi Ahkamil Al-Janaiz oleh Maddais. PB
Mathla’ul Anwar Press.
Ali, M., Jihaduddin,
& Al-Fuadi, F. (2018). Mathal’ul Anwar dan Tantangan Modernitas.
Bhakti Banten Press.
Amin, M., & Rasmuin,
R. (2019). Dinamika kurikulum madrasah berbasis pesantren pada abad ke-20:
Analisis historis implementasi kurikulum madrasah. Tadbir: Jurnal Studi
Manajemen Pendidikan, 3(1), 1–16.
Hayati, N. R. (2018).
Kiprah Ormas Islam di Bidang Pendidikan. Al Ghazali, 1(1),
133–144.
Ilham, D. (2020). THE
CHALLENGE OF ISLAMIC EDUCATION AND HOW TO CHANGE. IJAE: International
Journal of Asian Education, 1(1), 15–20.
Jamaluddin, D.
(2013). Paradigma Pendidikan Akhlak dalam Islam. CV. Pustaka Setia.
Juarsih, C.
(2014). Pengembangan Kurikulum Dalam Implementasi Standar Proses
Pendidikan Siswa. PT Rinerka Cipta.
Junaedi, M., &
Wijaya, M. M. (2021). ISLAMIC EDUCATION DEVELOPMENT BASED ON UNITY OF SCIENCES
PARADIGM. Ulul Albab, 22(1), 292.
Kusnan, A. (2017). Implikasi
Gerakan Pembaharuan K.H. Mas Abdurahman. Tamaddun, 5(1),
51.
Ma’Shum, S.
(2019). Menapak Jejak Mengenal Watak-Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU.
Yayasan Saifudin Zuhri.
Mawardi, D., &
Supadi, S. (2018). Concentration on Learning Program Development in Islamic
Education. Al-Hayat: Journal of Islamic Education, 2(2),
222–239.
Mu’izzuddin, M., Juhji,
J., & Hasbullah, H. (2019). Implementasi metode sorogan dan bandungan dalam
meningkatkan kemampuan membaca kitab kuning. Geneologi PAI: Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 6(1), 43–50.
Muazza, M., Mukminin,
A., Habibi, A., Hidayat, M., & Abidin, A. (2018). Education in Indonesian
islamic boarding schools: Voices on curriculum and radicalism, teacher, and
facilities. Islamic Quarterly, 62(4), 507–536.
Nata, A. (2015). Sejarah
Pendidikan Islam Periode Klasik dan Pertengahan. PT Raja Grafindo Persada.
Nizar, S. (2007). Sejarah
Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group.
Ridhlo, S. (2019).
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. SCHOLASTICA: Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 1(1), 176–199.
Rosidin, D. N.
(2018). Membela Islam Mathla’ul Anwar: Di Tengah Arus Perubahan Agama,
Sosisla, Budaya dan Politik Di Indonesia. CV. Elsi Pro.
Subhan, A. (2009). Lembaga
Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20. UIN Press.
Sukardi. (2003). Evaluasi
Pendidikan Prinsip dan Oprasionalnya. Bumi Aksara.
Syalafiyah, N., &
Harianto, B. (2020). Pembaharuan Dakwah Pendidikan Islam di Sumatera
Barat. J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam, 1(1).
Syarjaya, E. S., &
Jihaduddin. (1996). Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khithah Mathla’ul
Anwar. Pengurus Besar Mathla‟ul Anwar.
Thoyyib, M. (2019).
Peran Ulama Abad Xix Dalam Mengembangkan Pesantren Di Indonesia: Studi Atas
Pemikiran Abdurrahman Mas’ ud Tentang Pendidikan Pesantren.". Al
Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 134–145.
0 Komentar